Jumat, 14 Agustus 2015

Dibalik Jendala Rindu Istanbul

  
 oleh : Rahmatul Laili 

“ Aku tak pernah berfikir cinta akan menuntun langkahku sejauh ini,” ujar gadis berkerudung merah muda itu di tengah keramaian kota Istanbul,  yang kini menjadi tempat ia berpijak. Langit jingga yang memanjakan mata seakan menyambut kehadirannya, senja itu dihiasi warna biru kehijau-hijauan dengan segelintir oranye yang menghiasi setiap sudutnya. Jiwanya bergetar hebat, gemuruh hati yang kian memicu pergolakan batin, bulir bening perlahan mengaliri wajah ayunya, ia tertunduk menatap hampa rumput-rumput yang seolah mentertawakan kelemahannya. Bangunan Hagia Sophia yang kini tepat berada di depan mata tampak seperti mimpi, ia menepuk-nepuk ringan pipinya, masih dengan air mata yang terus mengalir, ia menatap lurus bangunan yang menyimpan kekayaan sejarah itu. Hagia Sophia merupakan salah satu tempat yang selama ini ia impi-impikan, oleh sebab itu, Turki masuk ke daftar negara yang ingin ia kunjungi. Perlahan bibirnya mulai mengulum senyuman tipis. “ Ini Turki dan itu Hagia Sophia,” bisik hatinya. Namun bukan itu alasan mengapa ia menangis. Ia masih enggan beranjak dari tempat awal ia berdiri.
“ Zahra...” teriak seseorang yang berlari dari kejauhan kemudian memeluk erat tubuhnya. Perempuan itu tak lain adalah Aliya, sahabatnya sewaktu di pesantren. Aliya lebih dulu menginjakkan kaki di Turki, ia telah menyelesaikan jenjang undergraduate di Universitas Istanbul, dan kini tengah melanjutkan ke jenjang postgraduate di universitas yang sama. Selain cinta, Aliya lah salah satu  pendorong yang menuntun langkah Zahra hingga ke negeri Turki. Kejadian yang menimpa benar-benar meluluh lantakkan perempuan yang selama ini dikenal sebagai sosok yang ceria, cerdas, dan humoris. Dunia bagi Zahra seakan berhenti berputar, kehidupannya yang selalu dihiasi senyuman berganti murung, terlihat jelas dari  mata yang tak lagi memancarkan sinar secerah dahulu. Duka itu terlalu menekan Zahra, tak ada alasan untuk dia tidak terpukul.
“ Ayolah Zahra, sudah saatnya bangkit,” ucap Aliya merangkulnya. Zahra hanya tersenyum tipis. “ Kemana Zahra sahabatku yang dulu?” kini Aliya memamerkan deretan giginya memberi senyuman terbaik untuk Zahra. Dulu setiap kali Aliya bertingkah seperti itu Zahra selalu menarik hidungnya dan berlari tapi, kini Zahra hanya memeluknya, “ Aku kuat, kalau aku tidak kuat aku takkan pernah mau ke Turki, karena ini terlalu menyakitkan untuk dikenang.“ Aliya tau Zahra hanya butuh waktu.
Kebanyakan perempuan pasti rapuh ketika bersentuhan dengan hal-hal yang menjebaknya dalam ingatan masa lalu yang berakhir menyedihkan tapi, tidak bagi Zahra. Ia dengan yakin melangkahkan kaki ke Turki dan dengan tegar berdiri di depan bangunan Hagia Sophia, meski bangunan itu besar kaitannya dengan lelaki yang telah menyatakan lamarannya. Ketika melamar, lelaki tersebut berkata akan membawa Zahra mengelilingi Turki setelah pernikahan terlaksana, menjelajahi bersama jajak-jejak peninggalan islam di negara itu dan Hagia Sophia adalah tempat pertama yang akan mereka kunjungi. “ Kenapa kamu menjadikan Hagia Sophia sebagai tempat pertama yang akan dikunjungi?” tanya Zahra. “ Karena dulu ketika masih di pesantren, secara tidak sengaja saya pernah mendengar kamu berkata pada salah seorang temanmu, bahwa menurutmu Hagia Sophia adalah tempat yang paling romantis melebihi Menara Eiffel, Taj Mahal, dan apapun itu.” Jawaban yang menggetarkan hati, lelaki yang tengah menyatakan niat tulusnya mengetahui betul tempat yang selama ini menjadi impian Zahra.
Dikala rasa mulai memupuk benih-benih cinta seketika harus terperangkap di sudut hati, ingin keluar tapi, cinta telah tertutup rapat dan terkunci. Disaat ia dipaksa menjauh sepertinya hati ingin sekali berteriak, kemana cinta yang menjanjikan ucapan suci. Menyalahi namun siapa yang akan disalahi, karena tak ada yang berhak menyalahi suratan takdir Illahi. Lelaki yang kemarin hampir melengkapi kebahagiaannya, mengakhiri kisah cinta mereka yang bahkan belum dimulai, akibat kecelakaan mobil yang seketika merenggut nyawanya. Tiada jeda bagi waktu yang mempersilahkan Zahra tersenyum, secepat kilat senyuman itu berganti air mata. Turki dan Hagia Sophia meninggalkan kenangan yang belum sempat dirajut, janji tinggal janji yang tak akan mungkin terwujud, bukan karena ingkar tapi, takdir yang mengizinkan pertemuan sebatas lamaran.
Bagaikan sambaran petir menghantam seluruh relung hatinya, Zahra terkubur terlalu dalam bersama hitam putih kehidupan, semangatnya seolah pergi ditelan  janji yang dibawa mati. Tak tahu dari mana ia akan menyusun kembali puzzle kehidupannya yang seketika berantakan. Zahra sadar ia tak boleh selemah ini, larut dalam kesedihan tidak akan mengembalikan yang telah tiada. Zahra berusaha mengeluarkan dirinya dari perangkap kesedihan. Disaat perempuan lain yang bernasib sama mencoba menjauh dari bayangan masa lalu, lain bagi Zahra yang berniat untuk segera berangkat ke Turki melanjutkan pendidikannya, menggali kembali semangat yang sempat terkubur dalam kenangan pahit. Seberapa mampu ia tersenyum di hadapan Hagia Sophia meski getir. Walau lelaki itu begitu cepat pergi dari kehidupannya tapi, mimpinya tak boleh luntur. Aliya yang mendengar keinginan sahabatnya tentu sangat mendukung, dengan senang hati ia menyambut kehadiran Zahra.
Jingga berganti kelam, matahari telah sempurna kembali ke peraduannya, kini rembulan menduduki singgasana langit bersama sejumlah bintang yang mengelilingi. Dua gadis berkerudung lebar itu beranjak pulang. Selama di Turki Zahra tinggal bersama Aliya, ia akan merajut kembali benang-benang kehidupan yang sempat kusut. Gagal dalam urusan cinta tak seharusnya mematahkan segalanya. Aliya tau sahabatnya adalah perempuan hebat dan luka yang menganga perlahan akan tertutup seiring berputarnya siklus kehidupan. Zahra masih sering mengunjungi Hagia Sophia, bangunan yang kini tidak hanya menjadi saksi sejarah umat Islam namun, juga menjadi saksi cerita cintanya. Hagia Sophia tak lagi memicu tangisan, secercah senyuman mulai menutupi celah kesedihan Zahra.
. Siang itu tanpa ditemani Aliya, Zahra menyusuri jalanan sepanjang kawasan Sultanahmet, menikmati musim semi pertamanya di Istanbul. Tinggal di negeri bersejarah menjadi dinamo tersendiri dalam dirinya, mengingat keberhasilan Dinasti Usmani dalam menaklukkan Konstantinopel (Istanbul) dibawah kekuasaan putra Sultan Murad II yang bergelar Muhammad Al-fatih. Zahra semakin larut dengan keelokan negeri sejuta masjid yang  perlahan menutupi kenangan pahitnya. Musim semi yang mengesankan dengan suhu yang tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas, juga bunga-bunga tulip yang bermekaran di sepanjang taman menyejukkan pandangan mata. Setelah lelah berjalan, ia mencari tempat beristirahat sejenak, posisinya lurus menghadap Blue Mosque yang terletak berseberangan dengan Hagia Sophia. Ia mengeluarkan sebotol minuman dari dalam tas dan meminumnya, lalu mengirim pesan singkat, memberi tahu Aliya bahwa ia sedang menikmati musim semi di luar apartemen, takut Aliya mengkhawatirkannya. Kemudian perhatiannya terpusat pada suara yang entah darimana sumbernya, suara merdu lantunan ayat suci Al-quran yang menenteramkan kesunyian kalbu.“ Suara siapa itu?” bisiknya dalam hati.
 Zahra berjalan mendekati sumber suara sambil bertanya-tanya siapa gerangan bersuara emas yang sedang melantunkan pertengahan surat Al-baqarah. Langkahnya terhenti ketika mendapati sang pemilik suara adalah lelaki yang menemukan ponselnya di bandara beberapa hari lalu, kalau saja lelaki itu tidak menemukan ponselnya, ia tak tahu bagaimana menghubungi Aliya. “ Subhanallah, hafalan yang sempurna dengan bacaan yang indah,” terbesit kekaguman di hati Zahra, terpancar ketenangan dari ayat-ayat Al-quran yang dilantunkan lelaki berwajah teduh tersebut.
“ Eheemm...” suara Aliya yang seketika telah berdiri disampingnya membuat Zahra terperanjak kaget.
“ Lagi ngeliatin siapa hayo...” goda Aliya
“ Nggak ngelihat siapa-siapa kok”
“Ekspresimu tidak mendukung untuk berbohong,” kalimat Aliya ini membungkam mulutnya, Zahra kebingungan akan menjawab apa dan lebih memilih diam.
“ Namanya Syamil,” ujar Aliya.
“ Kamu kenal dia?” tanya Zahra sedikit tidak percaya
“ Dia juga mahasiswa asal Indonesia “
            Zahra memutuskan untuk tidak bertanya apa-apa tentang Syamil. Ia dapat menerka apa yang ada dipikiran Aliya, ia paham betul keusilan sahabatnya. Zahra berusaha menutup rapat rasa penasarannya terhadap Syamil. “ Toh, kalau Syamil juga salah satu mahasiswa Indonesia yang belajar di Turki suatu saat ia pasti saling kenal,” batin Zahra. Ia takut rasa kagumnya yang sesaat berubah menjadi simpati dan berujung cinta, ia masih terlalu rapuh untuk jatuh cinta, takut kenangan pahit kembali menghantuinya. Sebisa mungkin ia menjauh dari masa lalu namun, bayangan menyedihkan itu selalu saja menghentikan langkahnya ketika hati mulai menelusuri lorong-lorong cinta.
“ Kamu tertarik sama Syamil?” pertanyaan Aliya memecahkan lamunannya.
“ Tidak, sebelumnya aku pernah ketemu dia di bandara, dia yang menemukan ponselku waktu itu “
“ Dia seorang hafizh yang cerdas,” bisik Aliya dengan mata yang sedikit disipitkan, sementara Zahra tetap tak bereaksi apa-apa, ia tak ingin perasaannya terbaca oleh Aliya.
            Sebulan sudah ia menetap dan berstatus mahasiswa di Universitas Istanbul, kesibukan perkuliahan yang melelahkan tapi cukup menyenangkan bagi gadis seperti Zahra, ketertarikannya pada pengetahuan sejarah menambah semangatnya untuk menelusuri setiap sudut negara Turki. Hari itu ia dan beberapa orang teman kampus ditugasi  meneliti nilai-nilai sejarah yang berada di Bursa, kota yang konon merupakan tempat Dinasti Usmani berawal. Ia dan rombongan memulai perjalanan menuju Bursa dengan kapal ferry yang membawa mereka menyeberangi Laut Marmara, laut yang memperjelas keindahan kota Istanbul.
            Penelitian di Bursa memakan waktu tiga hari, Zahra dan rombongannya memilih menginap di kiraz house, setelah beristirahat sejenak mereka mulai menyusuri jalanan Bursa, tempat pertama yang mereka tuju adalah kawasan hijau, disana terdapat yesil cami atau green mosque dan yesil turbe atau makam hijau yang letaknya saling berdekatan. Salah satu dari rombongan menjelaskan tentang tempat yang saat itu mereka kunjungi khususnya makam hijau yang merupakan makam Sultan Mehmet II, sultan kelima Dinasti Usmani. Penjelasannya terperinci mengenai Bursa, dari awal mula kota itu sampai direbut oleh putra Osman Gazi hingga pernah menjadi ibukota Dinasti Usmani sebelum Muhammad Alfatih berhasil menaklukkan Konstantinopel. Zahra hanya bisa mendengarkan sedang pandangannya terhalangi jejeran punggung mahasiswa yang kebanyakan berkebangsaan Turki dan Arab yang sudah jelas jauh lebih tinggi darinya.
Who is the speaker?” tanya Zahra pada gadis berdarah China yang berdiri disampingnya.
I don’t know, but I think he is Indonesia.”
“ Oh, Indonesia?” pernyataan gadis China barusan membuat Zahra sedikit bangga. Penjelasan yang hebat dari seorang mahasiswa Indonesia. “ Luar biasa,” gumamnya pelan diiringi senyuman.
            Setelah berkeliling kawasan hijau mereka memutuskan untuk kembali ke penginapan dan melanjutkan penelitian esok hari namun, Zahra masih penasaran dengan mahasiswa yang tadi memberikan penjelasan yang isunya berasal dari Indonesia, ia menyebarkan pandangan ke setiap penjuru.
Assalamualaikum, lagi cari siapa?” sapa seseorang yang membuat Zahra hampir kehilangan cara berpikir jernih. Sosok yang kini berada dihadapannya sungguh diluar dugaan.
Waalaikumsalam, tidak, tidak mencari siapa-siapa,” jawabnya terbata-bata.
“ Kamu yang kehilangan Hp di bandara waktu itu bukan?” Zahra hanya menjawab dengan anggukan ringan.
“ Aku Syamil dari Surabaya,” ucap lelaki itu seraya mengatupkan kedua tangannya di depan dada.
“ Zahra dari Pekanbaru,” sahutnya bersikap seperti orang yang sama sekali belum mengetahui nama lelaki tersebut.
            Selain mereka berasal dari negara yang sama, Syamil merupakan sosok orang yang mudah bergaul, bagaikan teman lama yang baru bertemu, mereka larut dalam obrolan seputar sejarah, sebelum berpisah arah Syamil memberikan alamat blog-nya pada Zahra, “ Kalau ada waktu silahkan baca-baca tulisan saya.” Di akhir obrolan Zahra juga tak lupa memuji penjelasan Syamil yang luar biasa, sepertinya ia benar-benar mendalami penelitiannya di bidang sejarah.
Semenjak perjalanan tugas ke Bursa, Zahra tahu bahwa Syamil belajar di universitas yang sama dengannya. Ia merasa ada sesuatu yang aneh, seperti kesenangan yang terselip, entah karena tempat-tempat bersejarah yang menarik selama di Bursa atau karena secara tak sengaja ia berkenalan dengan Syamil tapi, ia berusaha keras menolak kenyataan dan mengacuhkan perasaan tersebut, sehingga suatu hari dengan berbagai alasan ia menolak ajakan Syamil untuk mengunjungi festival tulip di Istanbul park bersama teman-teman kampus lainnya. Yang ia pikirkan bagaimana agar tidak terperangkap terlalu lama dalam perasaan yang ia sendiri tak tahu pasti.
Musim semi akan segera berakhir, hawa mulai terasa hangat, bunga tulip satu per satu mati, para pekerja sibuk merapikan taman-taman dan menggantinya dengan bunga mawar dan daisy aneka rupa. Zahra membuka pintu apartemen dan berjalan menuju kampus, tuntutan tugas mengharuskannya mencari beberapa buku referensi maka ia akan menghabiskan waktu seharian di perpustakaan. Pandangannya langsung tertuju pada bangku yang biasa di duduki Syamil ketika membaca. “ Seharusnya pria tinggi berkacamata itu sedang duduk disana dengan tumpukan buku yang mengelilinginya, tapi kemana ia? Bukannya ia tak pernah absen mengunjungi perpustakaan,” Zahra mencoba menepis berbagai pertanyaan yang menggelayuti pikirannya. Hari demi hari silih berganti, Zahra selalu menyempatkan waktu mengunjungi perpustakaan namun, keberadaan Syamil tak juga didapatinya. Ia teringat pada secarik kertas bertuliskan alamat blog yang diberi Syamil beberapa minggu lalu saat penelitian di Bursa, perhatiannya kini terarah pada tulisan-tulisan hasil postingan di blog milik Syamil. Rasa penasarannya semakin memuncak ketika ia membaca kebanyakan dari tulisan Syamil bercerita tentang Mesir bukan Turki, Zahra pun segera membuka profil penulis, seketika kelopak matanya berhenti berkedip, ia menatap lurus tulisan yang berada di layar laptop, rasa penasarannya kini telah terjawab, Syamil adalah seorang mahasiswa Universitas Al-azhar Kairo dan kedatangannya ke Istanbul hanya untuk penelitian jejak peradaban islam masa lampau.
“ Kamu sudah tidak di Istanbul?” tanya Zahra melalui email.
“ Aku udah kembali ke Kairo, maaf nggak sempat pamit,” balas Syamil selang beberapa menit.
Tak tahu mengapa Zahra susah mengartikan perasaannya sendiri, ia bingung apa yang sebenarnya sedang ia rasakan, kenapa tiba-tiba ia menyesal menolak ajakan Syamil ke festival tulip waktu itu, tangisan yang tak kuasa ia bendung kini tumpah bersama penyesalan. Ia menyadari Syamil adalah sosok yang ia kagumi, ingatannya merambat ke hari dimana Syamil menemukan ponselnya, lantunan hafalan Al-quran Syamil yang tak sengaja ia dengar , dan cerita perjelanan ke Bursa yang menjadi awal perkenalan antara mereka, semua diluar rencana siapapun tapi, tangan Allah lah yang telah mengatur semua sedemikian rupa, walau kekaguman hanya akan menjadi rasa terpendam. Tujuan awal ia melangkah jauh sampai ke Turki semata untuk menggali kembali semangat yang pernah pudar terbawa cinta namun, tak dapat dipungkiri bahwa pertemuannya dengan Syamil telah menyisakan setitik rasa, Zahra tak banyak berharap, andai saja ada pertemuan kedua untuk mereka.
Hawa musim panas semakin terasa, Aliya kembali menangkap celah kesedihan di wajah sahabatnya, ia sering kali mendapati Zahra yang tiba-tiba menangis. Ia mencoba menghibur dengan segala hal yang disukai Zahra seperti mengajaknya berkeliling, ia tak ingin melihat Zahra bersedih namun, ia juga tak mau bertanya karena ia takut sahabatnya kembali mengingat kesedihan itu. Zahra tetap tersenyum, bercanda, dan tertawa seperti biasa meski demikian ia masih saja menangis ketika menatap langit dari balik jendela apartemen. Di bawah langit kota Istanbul cinta yang pernah dibawa mati kembali menjumpai titik awal.
“ Aliya, bagaimana kalau liburan nanti kita jalan-jalan ke Kairo.” Ajakan Zahra ini selalu menjadi tanda tanya bagi Aliya. Apa pun ia lakukan demi sahabatnya agar tetap tersenyum termasuk dengan menerima ajakan Zahra berlibur ke Kairo. Musim demi musim berlalu, kehidupan Istanbul semakin melelahkan dengan berbagai aktivitas perkuliahan, Zahra telah memasuki tahun keduanya di Istanbul, lebaran tahun lalu hanya ia lalui bersama Aliya dan umat muslim Turki lainnya tanpa keluarga dan sanak saudara. Lebaran tahun ini mereka berencana pulang ke Indonesia. Rindu akan tanah air yang tak tertahankan lagi, terutama bagi Zahra meski baru dua tahun menetap di Turki. Persiapan mereka lakukan jauh sebelum hari keberangkatan, Zahra tampak antusias terlebih dalam mencari oleh-oleh.
Satu hal melintasi ruang fikirnya, sesaat sebelum pesawat yang akan membawa ia dan Aliya terbang menuju Indonesia lepas landas dari Bandara Internasional Attaturk. “ Apa kabar Syamil?” betapa ia merindukan lelaki yang tak disangka akan bertahta di singgasana hatinya, perkenalan mereka terbilang sangat singkat. Semenjak Syamil meninggalkan Istanbul Zahra tak lagi berkomunikasi dengannya, bahkan ketika berlibur ke Kairo Zahra sengaja tidak memberi tahu Syamil. Hanya tulisan-tulisan Syamil di media sosial yang selalu ia baca, dari tulisan itulah ia mengetahui bahwa lelaki tersebut baik-baik saja. Lelahnya perjalanan dari Istanbul ke Jakarta terbayar sempurna ketika kembali merasakan hawa tropis yang ia rindukan selama di Istanbul. Zahra semakin tak sabar untuk segera tiba dirumah, banyak hal yang ia bayangkan ketika nanti bertemu orangtua dan saudara-saudaranya.
Semua bayangan itu menghilang bagaikan terseret ombak, ketika mendapati sosok yang ia rindukan di setiap sujudnya kini duduk membelakangi pintu rumah dan wanita yang dipanggilnya ibu tampak tersenyum ramah dihadapan lelaki tersebut. Zahra terdiam di depan pintu ketika lelaki itu memalingkan wajah ke arahnya, seperti sebuah mimpi. Lelaki bernama Syamil yang ia rindukan bersama air mata di balik jendela Istanbul kini duduk di sofa ruang tamu rumah orang tuanya. Zahra masih belum mengeluarkan sepatah kata pun, ia melirik Aliya yang hanya tersenyum.
“ Aku tau semuanya dan ternyata bukan hanya kamu yang diam dalam perasaanmu selama ini, Syamil merasakan hal yang sama,” tutur Aliya, Zahra masih tak bersuara.
“ Ketika kamu ketiduran, diam-diam aku membuka laptopmu, awalnya aku kaget karena aku kira selama ini kamu masih menangisi masa lalumu, tapi disitu aku tau kamu pembaca setia setiap tulisan Syamil di blog-nya, jujur saja, aku menceritakannya pada Syamil via email malam itu juga dan semenjak itu aku tau Syamil menyimpan perasaan yang sama, satu hal yang belum aku katakan, Syamil adalan teman SMP-ku di Surabaya sebelum aku pindah ke Pekanbaru dan bersekolah di pesantren yang sama denganmu.” Mendengar penjelasan Aliya, Zahra hanya tersenyum, tak kuasa menahan air mata bahagia atas pelangi yang datang setelah hujan. Ia tau mencintai seseorang akan sangat menyakitkan bila bertepuk sebelah tangan tapi, ia tetap menjaga fitrah itu dalam diam hingga Allah menyampaikan maksud hatinya pada orang yang dituju. Begitu juga dengan Syamil yang telah menyimpan banyak pertanyaan tentang Zahra semenjak pertemuan pertama mereka di Bandara Attaturk. Cinta tak butuh ungkapan karena cinta hanya perlu bukti, cinta tak selamanya berakhir bahagia karena cinta tak seharusnya berakhir. Cintailah seseorang atas dasar cinta karena Allah, karena Dia lah Sang Maha Cinta yang padaNya berpulang segala harapan. Istanbul kota dua benua yang menjadi titik bertemunya budaya barat dan timur juga menjadi tempat bertautnya dua hati yang saling menjaga kesucian cinta. Kota yang menyimpan jutaan sejarah dan menjadi saksi peralihan kekuasaan dunia juga menjadi saksi perjalanan cinta Zahra yang bermula dan berakhir di Aya Sofya, gereja yang dialih fungsikan menjadi masjid pada tahun 1453 setelah Sultan Mehmet II berhasil menaklukkan Konstantinopel atau yang kita kenal sekarang bernama Istanbul, dan di bawah kekuasaan Mustafa Kemal Attaturk masjid yang dulunya gereja ini dirubah menjadi museum.