Selasa, 27 Oktober 2015

Duapuluh

entah harus senang atau sedih
sore itu masih seperti sore-sore sebelumnya
masih dengan nikmat yang tak terhitung dari Sang Maha Agung
hamparan langit jingga masih memanjakan mata
hembusan angin senja sepoi-sepoi masih mendamaikan jiwa
hanya saja sebutir kerikil menyandung asaku untuk tertawa lepas
satu persatu suara mengagetkanku
menjabat tanganku dengan senyum merekah
bola matanya seakan menyatakan perasaan turut bahagia
ada juga suara-suara yang bersorak gembira di balik layar ponsel
sehari yang penuh warna, terimakasih Allah
aku berhenti, diam menatap bayang-bayang diri
apakah aku harus tertawa bahagia atau menangis sedih
20 tahun silam ruh itu ditiupkan ke dalam jasadku
aku dikaruniakan kesempatan melihat dunia, diberi amanah menjalani kehidupan
dihadapkan dengan dua pilihan, akankah kupergunakan jatah hidup ini dalam kebaikan atau kesia-siaan, dan duapuluh tahun sudah kulalui...

jika jatah hidup baginda rasul 63 tahun, maka hampir sepertiga darinya telah kuhabiskan
lantas, layak kah hari itu disebut sebagai hari bertambanya usia atau malah berkurangnya sisa umur?
bertambah, mungkin karena babak usia yang baru akan dimulai bukan lagi terbilang anak-anak, jadi menuntut untuk bertambah dewasa
dan berkurang, karena jatah usia semakin mendekati garis finish yang telah ditetapkan
mengenai senang atau sedih, tak ada jawaban yang lebih tepat antara keduanya
cukup dengan mensyukuri segala nikmat yang telah dianugerahkan
pasang surut kehidupan sesungguhnya tak luput dari warna warni hikmah yang terselip dibalik semua itu, hanya perlu ditadabburi.
terimakasih untuk Sang Maha Pemberi Kehidupan
terimakasih untuk ayah ibu yang telah menjadi perantara hadirku ke dunia
terimakasih untuk sahabat yang selalu disisi mensupport setiap jatuh bangunku

~9 days after my twenty~




Jumat, 14 Agustus 2015

Dibalik Jendala Rindu Istanbul

  
 oleh : Rahmatul Laili 

“ Aku tak pernah berfikir cinta akan menuntun langkahku sejauh ini,” ujar gadis berkerudung merah muda itu di tengah keramaian kota Istanbul,  yang kini menjadi tempat ia berpijak. Langit jingga yang memanjakan mata seakan menyambut kehadirannya, senja itu dihiasi warna biru kehijau-hijauan dengan segelintir oranye yang menghiasi setiap sudutnya. Jiwanya bergetar hebat, gemuruh hati yang kian memicu pergolakan batin, bulir bening perlahan mengaliri wajah ayunya, ia tertunduk menatap hampa rumput-rumput yang seolah mentertawakan kelemahannya. Bangunan Hagia Sophia yang kini tepat berada di depan mata tampak seperti mimpi, ia menepuk-nepuk ringan pipinya, masih dengan air mata yang terus mengalir, ia menatap lurus bangunan yang menyimpan kekayaan sejarah itu. Hagia Sophia merupakan salah satu tempat yang selama ini ia impi-impikan, oleh sebab itu, Turki masuk ke daftar negara yang ingin ia kunjungi. Perlahan bibirnya mulai mengulum senyuman tipis. “ Ini Turki dan itu Hagia Sophia,” bisik hatinya. Namun bukan itu alasan mengapa ia menangis. Ia masih enggan beranjak dari tempat awal ia berdiri.
“ Zahra...” teriak seseorang yang berlari dari kejauhan kemudian memeluk erat tubuhnya. Perempuan itu tak lain adalah Aliya, sahabatnya sewaktu di pesantren. Aliya lebih dulu menginjakkan kaki di Turki, ia telah menyelesaikan jenjang undergraduate di Universitas Istanbul, dan kini tengah melanjutkan ke jenjang postgraduate di universitas yang sama. Selain cinta, Aliya lah salah satu  pendorong yang menuntun langkah Zahra hingga ke negeri Turki. Kejadian yang menimpa benar-benar meluluh lantakkan perempuan yang selama ini dikenal sebagai sosok yang ceria, cerdas, dan humoris. Dunia bagi Zahra seakan berhenti berputar, kehidupannya yang selalu dihiasi senyuman berganti murung, terlihat jelas dari  mata yang tak lagi memancarkan sinar secerah dahulu. Duka itu terlalu menekan Zahra, tak ada alasan untuk dia tidak terpukul.
“ Ayolah Zahra, sudah saatnya bangkit,” ucap Aliya merangkulnya. Zahra hanya tersenyum tipis. “ Kemana Zahra sahabatku yang dulu?” kini Aliya memamerkan deretan giginya memberi senyuman terbaik untuk Zahra. Dulu setiap kali Aliya bertingkah seperti itu Zahra selalu menarik hidungnya dan berlari tapi, kini Zahra hanya memeluknya, “ Aku kuat, kalau aku tidak kuat aku takkan pernah mau ke Turki, karena ini terlalu menyakitkan untuk dikenang.“ Aliya tau Zahra hanya butuh waktu.
Kebanyakan perempuan pasti rapuh ketika bersentuhan dengan hal-hal yang menjebaknya dalam ingatan masa lalu yang berakhir menyedihkan tapi, tidak bagi Zahra. Ia dengan yakin melangkahkan kaki ke Turki dan dengan tegar berdiri di depan bangunan Hagia Sophia, meski bangunan itu besar kaitannya dengan lelaki yang telah menyatakan lamarannya. Ketika melamar, lelaki tersebut berkata akan membawa Zahra mengelilingi Turki setelah pernikahan terlaksana, menjelajahi bersama jajak-jejak peninggalan islam di negara itu dan Hagia Sophia adalah tempat pertama yang akan mereka kunjungi. “ Kenapa kamu menjadikan Hagia Sophia sebagai tempat pertama yang akan dikunjungi?” tanya Zahra. “ Karena dulu ketika masih di pesantren, secara tidak sengaja saya pernah mendengar kamu berkata pada salah seorang temanmu, bahwa menurutmu Hagia Sophia adalah tempat yang paling romantis melebihi Menara Eiffel, Taj Mahal, dan apapun itu.” Jawaban yang menggetarkan hati, lelaki yang tengah menyatakan niat tulusnya mengetahui betul tempat yang selama ini menjadi impian Zahra.
Dikala rasa mulai memupuk benih-benih cinta seketika harus terperangkap di sudut hati, ingin keluar tapi, cinta telah tertutup rapat dan terkunci. Disaat ia dipaksa menjauh sepertinya hati ingin sekali berteriak, kemana cinta yang menjanjikan ucapan suci. Menyalahi namun siapa yang akan disalahi, karena tak ada yang berhak menyalahi suratan takdir Illahi. Lelaki yang kemarin hampir melengkapi kebahagiaannya, mengakhiri kisah cinta mereka yang bahkan belum dimulai, akibat kecelakaan mobil yang seketika merenggut nyawanya. Tiada jeda bagi waktu yang mempersilahkan Zahra tersenyum, secepat kilat senyuman itu berganti air mata. Turki dan Hagia Sophia meninggalkan kenangan yang belum sempat dirajut, janji tinggal janji yang tak akan mungkin terwujud, bukan karena ingkar tapi, takdir yang mengizinkan pertemuan sebatas lamaran.
Bagaikan sambaran petir menghantam seluruh relung hatinya, Zahra terkubur terlalu dalam bersama hitam putih kehidupan, semangatnya seolah pergi ditelan  janji yang dibawa mati. Tak tahu dari mana ia akan menyusun kembali puzzle kehidupannya yang seketika berantakan. Zahra sadar ia tak boleh selemah ini, larut dalam kesedihan tidak akan mengembalikan yang telah tiada. Zahra berusaha mengeluarkan dirinya dari perangkap kesedihan. Disaat perempuan lain yang bernasib sama mencoba menjauh dari bayangan masa lalu, lain bagi Zahra yang berniat untuk segera berangkat ke Turki melanjutkan pendidikannya, menggali kembali semangat yang sempat terkubur dalam kenangan pahit. Seberapa mampu ia tersenyum di hadapan Hagia Sophia meski getir. Walau lelaki itu begitu cepat pergi dari kehidupannya tapi, mimpinya tak boleh luntur. Aliya yang mendengar keinginan sahabatnya tentu sangat mendukung, dengan senang hati ia menyambut kehadiran Zahra.
Jingga berganti kelam, matahari telah sempurna kembali ke peraduannya, kini rembulan menduduki singgasana langit bersama sejumlah bintang yang mengelilingi. Dua gadis berkerudung lebar itu beranjak pulang. Selama di Turki Zahra tinggal bersama Aliya, ia akan merajut kembali benang-benang kehidupan yang sempat kusut. Gagal dalam urusan cinta tak seharusnya mematahkan segalanya. Aliya tau sahabatnya adalah perempuan hebat dan luka yang menganga perlahan akan tertutup seiring berputarnya siklus kehidupan. Zahra masih sering mengunjungi Hagia Sophia, bangunan yang kini tidak hanya menjadi saksi sejarah umat Islam namun, juga menjadi saksi cerita cintanya. Hagia Sophia tak lagi memicu tangisan, secercah senyuman mulai menutupi celah kesedihan Zahra.
. Siang itu tanpa ditemani Aliya, Zahra menyusuri jalanan sepanjang kawasan Sultanahmet, menikmati musim semi pertamanya di Istanbul. Tinggal di negeri bersejarah menjadi dinamo tersendiri dalam dirinya, mengingat keberhasilan Dinasti Usmani dalam menaklukkan Konstantinopel (Istanbul) dibawah kekuasaan putra Sultan Murad II yang bergelar Muhammad Al-fatih. Zahra semakin larut dengan keelokan negeri sejuta masjid yang  perlahan menutupi kenangan pahitnya. Musim semi yang mengesankan dengan suhu yang tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas, juga bunga-bunga tulip yang bermekaran di sepanjang taman menyejukkan pandangan mata. Setelah lelah berjalan, ia mencari tempat beristirahat sejenak, posisinya lurus menghadap Blue Mosque yang terletak berseberangan dengan Hagia Sophia. Ia mengeluarkan sebotol minuman dari dalam tas dan meminumnya, lalu mengirim pesan singkat, memberi tahu Aliya bahwa ia sedang menikmati musim semi di luar apartemen, takut Aliya mengkhawatirkannya. Kemudian perhatiannya terpusat pada suara yang entah darimana sumbernya, suara merdu lantunan ayat suci Al-quran yang menenteramkan kesunyian kalbu.“ Suara siapa itu?” bisiknya dalam hati.
 Zahra berjalan mendekati sumber suara sambil bertanya-tanya siapa gerangan bersuara emas yang sedang melantunkan pertengahan surat Al-baqarah. Langkahnya terhenti ketika mendapati sang pemilik suara adalah lelaki yang menemukan ponselnya di bandara beberapa hari lalu, kalau saja lelaki itu tidak menemukan ponselnya, ia tak tahu bagaimana menghubungi Aliya. “ Subhanallah, hafalan yang sempurna dengan bacaan yang indah,” terbesit kekaguman di hati Zahra, terpancar ketenangan dari ayat-ayat Al-quran yang dilantunkan lelaki berwajah teduh tersebut.
“ Eheemm...” suara Aliya yang seketika telah berdiri disampingnya membuat Zahra terperanjak kaget.
“ Lagi ngeliatin siapa hayo...” goda Aliya
“ Nggak ngelihat siapa-siapa kok”
“Ekspresimu tidak mendukung untuk berbohong,” kalimat Aliya ini membungkam mulutnya, Zahra kebingungan akan menjawab apa dan lebih memilih diam.
“ Namanya Syamil,” ujar Aliya.
“ Kamu kenal dia?” tanya Zahra sedikit tidak percaya
“ Dia juga mahasiswa asal Indonesia “
            Zahra memutuskan untuk tidak bertanya apa-apa tentang Syamil. Ia dapat menerka apa yang ada dipikiran Aliya, ia paham betul keusilan sahabatnya. Zahra berusaha menutup rapat rasa penasarannya terhadap Syamil. “ Toh, kalau Syamil juga salah satu mahasiswa Indonesia yang belajar di Turki suatu saat ia pasti saling kenal,” batin Zahra. Ia takut rasa kagumnya yang sesaat berubah menjadi simpati dan berujung cinta, ia masih terlalu rapuh untuk jatuh cinta, takut kenangan pahit kembali menghantuinya. Sebisa mungkin ia menjauh dari masa lalu namun, bayangan menyedihkan itu selalu saja menghentikan langkahnya ketika hati mulai menelusuri lorong-lorong cinta.
“ Kamu tertarik sama Syamil?” pertanyaan Aliya memecahkan lamunannya.
“ Tidak, sebelumnya aku pernah ketemu dia di bandara, dia yang menemukan ponselku waktu itu “
“ Dia seorang hafizh yang cerdas,” bisik Aliya dengan mata yang sedikit disipitkan, sementara Zahra tetap tak bereaksi apa-apa, ia tak ingin perasaannya terbaca oleh Aliya.
            Sebulan sudah ia menetap dan berstatus mahasiswa di Universitas Istanbul, kesibukan perkuliahan yang melelahkan tapi cukup menyenangkan bagi gadis seperti Zahra, ketertarikannya pada pengetahuan sejarah menambah semangatnya untuk menelusuri setiap sudut negara Turki. Hari itu ia dan beberapa orang teman kampus ditugasi  meneliti nilai-nilai sejarah yang berada di Bursa, kota yang konon merupakan tempat Dinasti Usmani berawal. Ia dan rombongan memulai perjalanan menuju Bursa dengan kapal ferry yang membawa mereka menyeberangi Laut Marmara, laut yang memperjelas keindahan kota Istanbul.
            Penelitian di Bursa memakan waktu tiga hari, Zahra dan rombongannya memilih menginap di kiraz house, setelah beristirahat sejenak mereka mulai menyusuri jalanan Bursa, tempat pertama yang mereka tuju adalah kawasan hijau, disana terdapat yesil cami atau green mosque dan yesil turbe atau makam hijau yang letaknya saling berdekatan. Salah satu dari rombongan menjelaskan tentang tempat yang saat itu mereka kunjungi khususnya makam hijau yang merupakan makam Sultan Mehmet II, sultan kelima Dinasti Usmani. Penjelasannya terperinci mengenai Bursa, dari awal mula kota itu sampai direbut oleh putra Osman Gazi hingga pernah menjadi ibukota Dinasti Usmani sebelum Muhammad Alfatih berhasil menaklukkan Konstantinopel. Zahra hanya bisa mendengarkan sedang pandangannya terhalangi jejeran punggung mahasiswa yang kebanyakan berkebangsaan Turki dan Arab yang sudah jelas jauh lebih tinggi darinya.
Who is the speaker?” tanya Zahra pada gadis berdarah China yang berdiri disampingnya.
I don’t know, but I think he is Indonesia.”
“ Oh, Indonesia?” pernyataan gadis China barusan membuat Zahra sedikit bangga. Penjelasan yang hebat dari seorang mahasiswa Indonesia. “ Luar biasa,” gumamnya pelan diiringi senyuman.
            Setelah berkeliling kawasan hijau mereka memutuskan untuk kembali ke penginapan dan melanjutkan penelitian esok hari namun, Zahra masih penasaran dengan mahasiswa yang tadi memberikan penjelasan yang isunya berasal dari Indonesia, ia menyebarkan pandangan ke setiap penjuru.
Assalamualaikum, lagi cari siapa?” sapa seseorang yang membuat Zahra hampir kehilangan cara berpikir jernih. Sosok yang kini berada dihadapannya sungguh diluar dugaan.
Waalaikumsalam, tidak, tidak mencari siapa-siapa,” jawabnya terbata-bata.
“ Kamu yang kehilangan Hp di bandara waktu itu bukan?” Zahra hanya menjawab dengan anggukan ringan.
“ Aku Syamil dari Surabaya,” ucap lelaki itu seraya mengatupkan kedua tangannya di depan dada.
“ Zahra dari Pekanbaru,” sahutnya bersikap seperti orang yang sama sekali belum mengetahui nama lelaki tersebut.
            Selain mereka berasal dari negara yang sama, Syamil merupakan sosok orang yang mudah bergaul, bagaikan teman lama yang baru bertemu, mereka larut dalam obrolan seputar sejarah, sebelum berpisah arah Syamil memberikan alamat blog-nya pada Zahra, “ Kalau ada waktu silahkan baca-baca tulisan saya.” Di akhir obrolan Zahra juga tak lupa memuji penjelasan Syamil yang luar biasa, sepertinya ia benar-benar mendalami penelitiannya di bidang sejarah.
Semenjak perjalanan tugas ke Bursa, Zahra tahu bahwa Syamil belajar di universitas yang sama dengannya. Ia merasa ada sesuatu yang aneh, seperti kesenangan yang terselip, entah karena tempat-tempat bersejarah yang menarik selama di Bursa atau karena secara tak sengaja ia berkenalan dengan Syamil tapi, ia berusaha keras menolak kenyataan dan mengacuhkan perasaan tersebut, sehingga suatu hari dengan berbagai alasan ia menolak ajakan Syamil untuk mengunjungi festival tulip di Istanbul park bersama teman-teman kampus lainnya. Yang ia pikirkan bagaimana agar tidak terperangkap terlalu lama dalam perasaan yang ia sendiri tak tahu pasti.
Musim semi akan segera berakhir, hawa mulai terasa hangat, bunga tulip satu per satu mati, para pekerja sibuk merapikan taman-taman dan menggantinya dengan bunga mawar dan daisy aneka rupa. Zahra membuka pintu apartemen dan berjalan menuju kampus, tuntutan tugas mengharuskannya mencari beberapa buku referensi maka ia akan menghabiskan waktu seharian di perpustakaan. Pandangannya langsung tertuju pada bangku yang biasa di duduki Syamil ketika membaca. “ Seharusnya pria tinggi berkacamata itu sedang duduk disana dengan tumpukan buku yang mengelilinginya, tapi kemana ia? Bukannya ia tak pernah absen mengunjungi perpustakaan,” Zahra mencoba menepis berbagai pertanyaan yang menggelayuti pikirannya. Hari demi hari silih berganti, Zahra selalu menyempatkan waktu mengunjungi perpustakaan namun, keberadaan Syamil tak juga didapatinya. Ia teringat pada secarik kertas bertuliskan alamat blog yang diberi Syamil beberapa minggu lalu saat penelitian di Bursa, perhatiannya kini terarah pada tulisan-tulisan hasil postingan di blog milik Syamil. Rasa penasarannya semakin memuncak ketika ia membaca kebanyakan dari tulisan Syamil bercerita tentang Mesir bukan Turki, Zahra pun segera membuka profil penulis, seketika kelopak matanya berhenti berkedip, ia menatap lurus tulisan yang berada di layar laptop, rasa penasarannya kini telah terjawab, Syamil adalah seorang mahasiswa Universitas Al-azhar Kairo dan kedatangannya ke Istanbul hanya untuk penelitian jejak peradaban islam masa lampau.
“ Kamu sudah tidak di Istanbul?” tanya Zahra melalui email.
“ Aku udah kembali ke Kairo, maaf nggak sempat pamit,” balas Syamil selang beberapa menit.
Tak tahu mengapa Zahra susah mengartikan perasaannya sendiri, ia bingung apa yang sebenarnya sedang ia rasakan, kenapa tiba-tiba ia menyesal menolak ajakan Syamil ke festival tulip waktu itu, tangisan yang tak kuasa ia bendung kini tumpah bersama penyesalan. Ia menyadari Syamil adalah sosok yang ia kagumi, ingatannya merambat ke hari dimana Syamil menemukan ponselnya, lantunan hafalan Al-quran Syamil yang tak sengaja ia dengar , dan cerita perjelanan ke Bursa yang menjadi awal perkenalan antara mereka, semua diluar rencana siapapun tapi, tangan Allah lah yang telah mengatur semua sedemikian rupa, walau kekaguman hanya akan menjadi rasa terpendam. Tujuan awal ia melangkah jauh sampai ke Turki semata untuk menggali kembali semangat yang pernah pudar terbawa cinta namun, tak dapat dipungkiri bahwa pertemuannya dengan Syamil telah menyisakan setitik rasa, Zahra tak banyak berharap, andai saja ada pertemuan kedua untuk mereka.
Hawa musim panas semakin terasa, Aliya kembali menangkap celah kesedihan di wajah sahabatnya, ia sering kali mendapati Zahra yang tiba-tiba menangis. Ia mencoba menghibur dengan segala hal yang disukai Zahra seperti mengajaknya berkeliling, ia tak ingin melihat Zahra bersedih namun, ia juga tak mau bertanya karena ia takut sahabatnya kembali mengingat kesedihan itu. Zahra tetap tersenyum, bercanda, dan tertawa seperti biasa meski demikian ia masih saja menangis ketika menatap langit dari balik jendela apartemen. Di bawah langit kota Istanbul cinta yang pernah dibawa mati kembali menjumpai titik awal.
“ Aliya, bagaimana kalau liburan nanti kita jalan-jalan ke Kairo.” Ajakan Zahra ini selalu menjadi tanda tanya bagi Aliya. Apa pun ia lakukan demi sahabatnya agar tetap tersenyum termasuk dengan menerima ajakan Zahra berlibur ke Kairo. Musim demi musim berlalu, kehidupan Istanbul semakin melelahkan dengan berbagai aktivitas perkuliahan, Zahra telah memasuki tahun keduanya di Istanbul, lebaran tahun lalu hanya ia lalui bersama Aliya dan umat muslim Turki lainnya tanpa keluarga dan sanak saudara. Lebaran tahun ini mereka berencana pulang ke Indonesia. Rindu akan tanah air yang tak tertahankan lagi, terutama bagi Zahra meski baru dua tahun menetap di Turki. Persiapan mereka lakukan jauh sebelum hari keberangkatan, Zahra tampak antusias terlebih dalam mencari oleh-oleh.
Satu hal melintasi ruang fikirnya, sesaat sebelum pesawat yang akan membawa ia dan Aliya terbang menuju Indonesia lepas landas dari Bandara Internasional Attaturk. “ Apa kabar Syamil?” betapa ia merindukan lelaki yang tak disangka akan bertahta di singgasana hatinya, perkenalan mereka terbilang sangat singkat. Semenjak Syamil meninggalkan Istanbul Zahra tak lagi berkomunikasi dengannya, bahkan ketika berlibur ke Kairo Zahra sengaja tidak memberi tahu Syamil. Hanya tulisan-tulisan Syamil di media sosial yang selalu ia baca, dari tulisan itulah ia mengetahui bahwa lelaki tersebut baik-baik saja. Lelahnya perjalanan dari Istanbul ke Jakarta terbayar sempurna ketika kembali merasakan hawa tropis yang ia rindukan selama di Istanbul. Zahra semakin tak sabar untuk segera tiba dirumah, banyak hal yang ia bayangkan ketika nanti bertemu orangtua dan saudara-saudaranya.
Semua bayangan itu menghilang bagaikan terseret ombak, ketika mendapati sosok yang ia rindukan di setiap sujudnya kini duduk membelakangi pintu rumah dan wanita yang dipanggilnya ibu tampak tersenyum ramah dihadapan lelaki tersebut. Zahra terdiam di depan pintu ketika lelaki itu memalingkan wajah ke arahnya, seperti sebuah mimpi. Lelaki bernama Syamil yang ia rindukan bersama air mata di balik jendela Istanbul kini duduk di sofa ruang tamu rumah orang tuanya. Zahra masih belum mengeluarkan sepatah kata pun, ia melirik Aliya yang hanya tersenyum.
“ Aku tau semuanya dan ternyata bukan hanya kamu yang diam dalam perasaanmu selama ini, Syamil merasakan hal yang sama,” tutur Aliya, Zahra masih tak bersuara.
“ Ketika kamu ketiduran, diam-diam aku membuka laptopmu, awalnya aku kaget karena aku kira selama ini kamu masih menangisi masa lalumu, tapi disitu aku tau kamu pembaca setia setiap tulisan Syamil di blog-nya, jujur saja, aku menceritakannya pada Syamil via email malam itu juga dan semenjak itu aku tau Syamil menyimpan perasaan yang sama, satu hal yang belum aku katakan, Syamil adalan teman SMP-ku di Surabaya sebelum aku pindah ke Pekanbaru dan bersekolah di pesantren yang sama denganmu.” Mendengar penjelasan Aliya, Zahra hanya tersenyum, tak kuasa menahan air mata bahagia atas pelangi yang datang setelah hujan. Ia tau mencintai seseorang akan sangat menyakitkan bila bertepuk sebelah tangan tapi, ia tetap menjaga fitrah itu dalam diam hingga Allah menyampaikan maksud hatinya pada orang yang dituju. Begitu juga dengan Syamil yang telah menyimpan banyak pertanyaan tentang Zahra semenjak pertemuan pertama mereka di Bandara Attaturk. Cinta tak butuh ungkapan karena cinta hanya perlu bukti, cinta tak selamanya berakhir bahagia karena cinta tak seharusnya berakhir. Cintailah seseorang atas dasar cinta karena Allah, karena Dia lah Sang Maha Cinta yang padaNya berpulang segala harapan. Istanbul kota dua benua yang menjadi titik bertemunya budaya barat dan timur juga menjadi tempat bertautnya dua hati yang saling menjaga kesucian cinta. Kota yang menyimpan jutaan sejarah dan menjadi saksi peralihan kekuasaan dunia juga menjadi saksi perjalanan cinta Zahra yang bermula dan berakhir di Aya Sofya, gereja yang dialih fungsikan menjadi masjid pada tahun 1453 setelah Sultan Mehmet II berhasil menaklukkan Konstantinopel atau yang kita kenal sekarang bernama Istanbul, dan di bawah kekuasaan Mustafa Kemal Attaturk masjid yang dulunya gereja ini dirubah menjadi museum.

Senin, 30 Maret 2015

Kenangan dalam Hujan


            Rabu, 15 Oktober 2014
Hujan pertama di siang hari, semenjak ia menginjakkan kaki di tanah jawa. Hujan siang itu mengundang air mata, ia juga tak tau kenapa. Entah karena satu minggu lalu, ia baru saja melepas jingga yang hadirnya tak pernah diprediksikan , atau ada faktor lain menjanggal di hati. Rasa sedih yang teramat dalam, pikirannya merambat ke masa-masa yang telah ia lewati.
Ya Allah...lancarkanlah ujian kami, sukseskan kami, luluskan kami pada ujian nasional...” kalimat ini menari-nari di angannya. Mungkin itu juga menjadi salah satu faktor hadirnya kesedihan kala itu. Ketika masih beseragam putih abu-abu, detik-detik menjelang Ujian Nasional, suasana hujan selalu dijadikan kesempatan untuk berdo’a, karena do’a di saat hujan merupakan salah satu do’a yang maqbul, begitu penjelasannya. Tak tahu, apakah cara  berdo’a dengan sura lantang di depan kelas lalu diaminkan bersama termasuk cara yang benar atau tidak namun, tampak ada bahagia yang terselip di setiap senyuman mereka , kenangan yang dapat memecah tawa di masa nostalgia kelak. Memang unik karakter anak asrama.
            “Lalu, apa sebenarnya yang kamu tangisi?” tanyanya pada diri sendiri.
Tuhan ciptakan alur kehidupan yang begitu indah. Sangat sulit baginya untuk berpisah. Bukannya hidup ini antara pertemuan dan perpisahan? Ya, ia tahu itu. Tak ada yang harus disesali, hanya saja semua terlalu manis untuk dikenang.
“Inilah susahnya wanita, apa saja selalu dikaitkan dengan hati...” ia terlalu sering mengeluh.
“ Kalian teman yang takkan pernah hilang dari ingatanku, adanya kalian telah membuat masa putih abu-abuku penuh warna, ” gumamnya. Jarak benar telah memberi ruang. Mereka semua melangkah mengawali mimpi-mimpi yang pernah dirangkai bersama di bawah singgasana kota kabut. Tak sabar ia menunggu waktu yang akan kembali mempertemukan ia dan seluruh sahabat masa putih abu-abunya.
“ Kunanti kalian di masa kesuksesan, teman...” isaknya semakin tak kuasa menahan tangisan. Tak perlu menunggu pergantian menit, bulir bening itu telah membasahi pipinya.
Ia terduduk di sudut ruangan kelas menatap jarum jam lekat-lekat. Lamunan membawanya kembali terbang ke masa lalu. “ Kau tahu teman, talago di awal perjumpaan kita masih digenangi air, namun seiring mendekatnya detik perpisahan, talago itu sudah seperti padang rumput.“
“ Hei, bila rindu berkunjunglah kemari, ” seakan tumbuhan yang menutupinya tersenyum ramah menyapa dalam angan. Pandangannya kian menerawang menembus layar ponsel. Dahulu ia menghabiskan hari-harinya di sana, sekarang ia hanya bisa melihat tempat itu dari sebuah foto.
Kotobaru, begitulah panggilan akrab untuk sebuah sekolah yang bersaksi atas jalinan ukhuwah suci. Ukhuwah yang melekat hangat dengan sebutan Qanathir El-Khairiyah. Ya, demikian nama generasi yang diberikan seorang guru kepada mereka tepat di hari Rabu, 14 Sepetember 2011, biasa disingkat dengan el-qaerha. Semenjak pemberian nama generasi itu ukhuwah yang terjalin semakin erat. Walau terkadang ada perselisihan namun, perbedaan jualah yang akhirnya menyatukan kembali. Kurang lebih tiga tahun lamanya mereka menjalani kehidupan bersama sebagai anak asrama.
Tanggal 14 Sepetember setiap tahunnya selalu dirayakan sebagai hari jadi generasi. Bukan sebuah pesta mewah melainkan hanya acara berbentuk syukuran atas anugerah tuhan yang telah mempersatukan, ditambah kehadiran seorang ustad yang seperti sosok ayah bagi mereka. Beliaulah yang memberi nama untuk generasi itu, generasi bagaikan sebuah keluarga kecil, keluarga yang akan selalu ada sebagai tempat kembali di saat mereka tak tau ke mana harus pulang dan melangkah. Begitu kuatnya tali kekeluargaan yang mengikat erat sebuah ukhuwah.
Di tahun pertama hari jadi el-qaerha hanya ada berbagai ungkapan rasa syukur dan bahagia atas usia kebersamaan yang telah menginjak angka satu. Sedang di tahun kedua, malam 14 Sepetember dirayakan dengan berurai air mata. Tampak jelas kesedihan yang mendalam ketika ia dan para sahabatnya tertunduk mendengar kata demi kata yang keluar dari lisan seorang ustad yang kerap dipanggil abuna. Kata-kata beliau mengisyaratkan kentalnya kesedihan mengingat kebersamaan yang tinggal hitungan bulan. Tak ada suara yang keluar melainkan isak tangis yang memenuhi setiap sudut ruangan.
Kamis, 23 Januari 2014 adalah malam bersejarah. Banyak kenangan di hari itu. Setiap mereka bernampilan sebagus dan serapi mungkin, berusaha mempersembahkan yang terbaik di hadapan semua orang yang memenuhi aula asrama. Diawali lelucon-lelucon khas anak asrama yang berhasil memecah tawa, acara malam itu berlangsung sangat heboh. Kemudian satu persatu mulai terdiam, tertunduk, lalu tak bersuara. Isakan kecil perlahan terdengar, tangisan mengakhiri kemeriahan malam. Kata-kata yang diucapkan seorang sahabat berhasil membungkam mulut semua yang tadinya tertawa sedemikian heboh. Malam itu merupakan malam terakhir mereka menjalani muhadharah mingguan sebagai anak asrama. Minggu-minggu berikutnya mereka hanya akan disibukkan dengan berbagai macam persiapan jelang Ujian Nasional.
Pertemuan yang tak pernah aku terka, perpisahan yang tak sempat kubayangkan. Kini, satu persatu bunga sakura itu mulai layu dan berguguran, pertanda waktu tak berapa lama lagi,” goresan tinta di sela catatan hariannya masih tampak jelas. Dulu ketika masih duduk di bangku kelas XI mereka pernah menghias panggung perpisahan untuk kakak kelas XII dengan nuansa Jepang, memberikan pohon sakura di setiap sudut ruangan. Ia membalik lembar demi lembar catatan hariannya.
Canda tawa yang pernah ada, pertengkaran yang berarti, teguran demi teguran. Akankah kelak masih aku temui? Tak sanggup kumembayangkan ketika nanti aku terbangun dan mendapati diriku tak lagi berada di bawah atap yang sama dengan kalian,” butiran-butiran bening malam itu menjadi saksi kentalnya sebuah ukhuwah, waktu yang hanya beberapa jam telah menjadi sejarah penting bagi pejuang el-qaerha.
Cukup tuliskan kisah kita dalam diary hati dan pikiran takkan mampu menghapusnya. Aku bahagia karena Aku, Kamu, dan Kita semua pernah ada untuk pertemuan singkat ini. Seperti sebuah mimpi, tapi aku bangga bisa berada di tempat itu bersamamu sahabat, hingga akhir jasad ini menyatu dengan tanah negeri yang entah di belahan bumi mana. Walau semua akan segera menghilang seperti mimpi tadi malam.”
Kapal semakin mendekati dermaga, masa putih abu-abu akan segera menepi. Rabu, 16 April 2014 adalah hari di mana mereka meneteskan tetes darah terakhir dalam perjuangan menguak jawaban di balik soal-soal Ujian Nasional. Begitu bel berbunyi tanda waktu ujian berakhir, mereka pun bersorak gembira meninggalkan ruang ujian. Meski rasa cemas menunggu hasil ujian masih menghantui namun, tak menghalangi mereka untuk tetap tersenyum senang dan bergaya narsis siang itu. Demikian gambar yang berhasil diabadikan di balik layar camera dygital. Ujian Nasional berakhir, satu demi satu sahabat mulai meninggalkan asrama membawa semua barang-barangnya tanpa membiarkan satu pun tersisa. Suasana perpisahan melekat jelas di depan mata, sembilu tajam menyayat-nyayat relung hatinya. Tak kuasa ia sembunyikan tangisan, ia perlihatkan perasaan yang sebenarnya, ia belum siap untuk berpisah. Waktu melarutkan dalam kesedihan, mereka saling berpelukan, merangkul satu sama lain. Sengaja ia meninggalkan asrama lebih akhir, karena ingin melihat satiap langkah sahabat-sahabat yang meninggalkan asrama lebih awal. Kehebohan asrama tak seperti biasa, tak seperti teriakan-teriakan pagi hari saat kehabisan air. sungguh menyedihkan, bukan?
Selasa, 20 Mei 2014
Hari itu pengumuman kelulusan siswa SMA. Mereka kembali berkumpul di asrama. Perasaan bahagia yang tak bisa digambarkan, saling berpelukan sebagai ungkapan betapa mereka sangat merindu. Sore yang dihiasi rintik-rintik hujan, mereka berjalan menuju kelas, berbagai macam perasaan berkeliaran di pikiran. Seakan tak sabar mendengar pengumuman. Apakah masa putih abu-abu diakhiri dengan tangis bahagia atau tangis penyesalan.
“ayolah!!! Ustad, kami lulus atau nggak, Ustad????”, Ayu, seorang teman yang sulit sembunyikan rasa cemas. Rengekan manjanya setelah mendengar teriakan nyaring teman kelas sebelah berhasil mengundang tawa geli wali kelas.
Setelah puas melihat murid-murid yang semakin gelisah, disertai senyuman merekah wali kelas pun menyampaikan kabar baik yang dinanti-nantikan. Berita itu mereka sambut dengan sorakan-sorakan yang tak kalah berisiknya dari sorakan teman-teman di kelas lain, sorakan yang diiringi suara pukulan-pukulan meja. Ada yang tersenyum, ada yang menangis hebat, ada yang saling berpelukan, dan ia, ia bersorak sehabis suara. Meneriakkan pada langit yang tak lagi meneteskan airnya, bahwa sore itu ia, tepatnya mereka semua berhasil mengakhiri masa putih abu-abu dengan tangis bahagia tanpa seorang pun yang gagal. “Terimakasih Ya Allah....” ucapnya lirih.
Kegembiraan berlanjut pada malam hari, saat kelulusan dirayakan bersama seorang ustad yang sangat berarti dalam terciptanya kekeluargaan antara mereka. Mendengar kabar kelulusan mereka, sang ustad tak kalah bahagia, namun sinar mata beliau tak dapat berbohong. Ada kesedihan terselip di balik senyuman indahnya. Kenapa tidak, setelah malam itu entah kapan lagi mereka dapat berkumpul bersama, merasakan kehangatan di tengah-tengah keluarga kecil. Tiga tahun bernaung di bawah kota kabut memberi arti tersendiri. Waktu berputar semakin cepat, hingga akhirnya semua berpencar-pencar. Sebahagian ada yang meninggalkan tanah sumatera, perpisahan demi mengawali langkah baru untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang pernah diukir di bawah kaki merapi dan singgalang.
           Di sekolah itu segala cerita tentang cinta dan persahabatan bermula, kemudian berlalu menyisakan kenangan. Pasti akan sangat dirindukan. Di sana ia pernah menemukan sesuatu yang bernama suka, duka, bahkan luka. Selain hangatnya persahabatan, Kotobaru juga menghadirkan warna-warni masa remaja di hari-harinya. Bagaimana semua tidak menjadi kenangan yang sulit dilupakan. Hanya melalui catatan-catatan harian ia dapat mengenang masa putih abu-abu yang tak akan pernah kejadian dua kali.
           

***

Terimakasih sahabat
Tanpa kalian, masa putih abu-abu takkan sempurna 



Senin, 23 Maret 2015

Tinta Mahasiswa

mahasiswa...
kalau ditanya tentang mahasiswa, pernyataan apa saja nih yang seketika muncul dalam pikiran kita semua???

dulu sih ketika masih putih abu-abu, setiap berbicara soal mahasiswa, gambaran yang tiba-tiba muncul itu ya...udah nggak ada yang namanya seragam, udah nggak ada peraturan yang mengharuskan memakai sepatu hitam dan kaos kaki putih, setiap senin wajib pake topi dan ikut upacara bendera, setiap sabtu wajib memakai baju pramuka dengan lambang-lambang yang lengkap, dan tak lupa juga kacu ~ peraturan di sekolahan saya dulu sih gitu, nggak tau yang lainnya gimana.


mahasiswa juga nggak perlu takut dengan satpam yang selalu setia nungguin pintu gerbang, semenit aja telat jangan harap deh bakal dibolehin masuk, hadapin dulu guru piket, yang males paling ujung-ujungnya pulang ~ bukan pengalaman pribadi lo. dan juga nggak ada lagi yang namanya jadwal full berurutan dari senin sampai sabtu.

karena dulu yang kita tahu mahasiswa itu berangkat ke kampus dengan pakaian bebas asal sopan, warna sepatu juga terserah mau yang warna apa, mau dicocokin sama warna baju juga nggak masalah, kalau ini sih kebanyakan bagi cewek yang hobi menyesuaikan warna barang-barang yang dikenakan, udah kaya tante rambut palsu aja ~ bagi yang suka film dulce maria pasti tau tokoh ini.
dan kalau soal kaos kaki, mahasiswa ke kampus mau pake kaos kaki atau nggak sih terserah mereka, alias tergantung style masing-masing lah, kadang ada yang rapi banget, udah kaya mau ngelamar kerjaan, kadang ada juga yang masa bodoh, nggak peduli kostumnya dikira kaya kostum mau ke pasar. kalau buat yang cowok, kadang ada yang penampilannya subhanallah banget, udah kaya ustad mau ngisi khotbah jum'at, tapi nggak sedikit juga yang tampilannya kaya pencinta alam dengan celana gunung dan rambut gondrong andalannya, ini mau kuliah atau mau daki gunung ya? eiitts...jangan salah, di kampus mah nggak ada pemeriksaan rambut mendadak (bagi yang cowok), emang di SMA, tau-taunya guru dateng dateng udah bawa gunting aja. mahasiswa juga nggak perlu bawa tas gede, yang mini aja biar simpel, palingan binder yang nggak boleh ketinggalan ~ FTV banget. mau seperti apa pun itu tetap back to your self, tergantung style masing-masing. so, mahasiswa juga nggak perlu khawatir sama gerbang yang tiba-tiba ketutup, mikirnya cuma gini "palingan dosennya juga telat atau nggak masuk" tapi ada juga beberapa dosen yang tercatat sangat ketat dalam urusan waktu, masuk kelas kelewatan on time alias sebelum jam masuk yang dijadwalkan dan bagi yang telat sedikit aja langsung disuruh pulang. mahasiswa juga nggak punya jadwal tetap dan berderet dari senin sampai sabtu layaknya anak sekolahan, kadang ada dosen yang tiba-tiba minta ganti jam bahkan hari, dalam sehari paling ada tiga mata kuliah, dan dalam seminggu paling ke kampus cuma empat atau lima hari. isu yang kebanyakan ditakuti para calon mahasiswa-mahasiswa baru adalah ketika senior bercerita tentang dosen yang tiba-tiba memberi tugas ini itu, bahan-bahan kuliah yang harus dipersiapkan sendiri berupa lembaran-lembaran kertas alias makalah. salah besar bagi yang memahami mahasiswa sebatas kebebasannya saja, dengan kata lain yang enak-enaknya aja, karena kuliah kenyataannya memang tak semudah yang di FTV.






sesungguhnya dibalik jadwal kuliah yang cuma empat hari, tak ada kata libur bagi mahasiswa karena tongkrongan mahasiswa sebenarnya adalah perpustakaan, disana berbagai macam buku setia menemani dan jangan salah ketika mahasiswa ke kampus hanya dengan membawa sebuah binder, karena sebenarnya buku rujukan mahasiswa tidak hanya satu, kalau kata dosen saya, "sekurang-kurangnya anda harus membaca sepuluh buku untuk satu matakuliah" dan ketika dosen telat atau tidak hadir bukan berarti it's free time dan waktunya ke kantin sebagaimana ketika masa putih abu-abu dulu, karena mahasiswa sudah bukan saatnya lagi untuk disuapi layaknya guru-guru di sekolahan dulu yang dengan sabar menjelaskan materi demi materi pembelajaran sampai muridnya benar-benar paham. bukannya materi kuliah mahasiswa sendiri yang menyiapakannya dan tugas dosen cuma mengarahkan, selebihnya kesempatan untuk mahasiswa yang berusaha, kalaupun dosen hadir, paling beliau cuma duduk atau setidaknya berjalan sekeliling kelas, karena seperti yang kita ketahui metode pembelajaran mahasiswa adalah penyampaian makalah dan diskusi. menemukan, berargumen, dan menjelaskan. ibarat sebuah gelas, dulu ketika berstatus siswa kita bagaikan gelas kosong yang dituangi air berupa penjelasan para guru namun, ketika status sudah berubah menjadi mahasiswa, ibarat gelas yang tadinya kosong kini setidaknya setengah dari gelas itu telah berisi air, sehingga dari diskusi-diskusi dan arahan dosen gelas tadi semakin berisi dan terus berisi.
 jadi, jangan sekedar memandang mahasiswa dari segi yang menyenangkan saja.





# ditulis ketika merasa sedikit lelah ditengah tumpukan tugas ~ just refresh :)

salam mahasiswa ^_^ FIGHTING!!! ^_^


Heart Problem



dari kebanyakan sahabat yang berbagi cerita kepadaku, pasti mereka selalu mengeluhkan tentang perasaan, lebih tepatnya persoalan cinta...
sudah merupakan fitrah setiap insan memiliki rasa cinta dan dari cintalah bersumber segala kebahagian tapi, kenapa bagi sebahagian insan cinta itu malah mempersulit dan sumber segala kegalauan, terkhusus kaum hawa.

pembahasan cinta disini bukan sembarangan cinta, lebih tepatnya ketertarikan atau rasa kagum terhadap seseorang yang memberikan getaran dan kesan tersendiri, sosok seperti apakah itu? setiap kita pasti menyimpan jawabannya masing-masing.
setiap insan yang meyakini sebuah cinta pasti diawali dengan kebahagian lantas, kenapa tiba-tiba menjadi rumit?

jiwa yang jatuh ke dalam jurang cinta mulai terombang-ambing, sehingga ia tak sadar betapa jauh ia terseret karena begitu terlena akan kesenangan sesaat, dan saat semuanya hanyut ditelan gelombang yang tersisa hanya ia yang tak henti maratapi waktu dan menyalahi diri. waktu pun dihitung mundur, menyesali setiap hari yang telah dilalui bersama cinta yang dulu pernah menjadi penghuni di relung hati, muncul lah hal-hal yang disebabkan oleh kata-kata gagal move on. inilah salah satu alasan mengapa islam mengharamkan pacaran, karena begitu banyak mudharat yang mungkin saja terjadi.

lalu, bagaimana dengan yang mengagumi dalam diam, kenapa masih saja akrab dengan yang namanya galau? karena hari-harinya hanya disibukkan untuk memikirkan segala hal tentang sosok yg dikagumi yang seolah-olah telah mengalihkan dunianya.
الا بذكر الله تطمئن القلوب
sesungguhnya hanya dengan mengingat Allah lah hati akan menjadi tenang.
logikanya aja ni ya, kenapa kita harus pusing mikirin seseorang sementara dia sama sekali tak tahu menahu bagaimana sulitnya kita yang terus-terusan dihantui pikiran tentang dia. enjoy your day, ayolah guys...jangan habiskan masa mudamu hanya untuk memikirkan cinta yang belum jelas kepastiannya, waktumu terlalu singkat jika digunakan untuk itu.
mengutip perkataan seorang senior "jadilah seperti elang yang menangis sendiri dan terbang lebih tinggi dari burung-burung lainnya"

dan bagaimana jika menaruh harapan?
ya, berharaplah sekedarnya, agar ketika tak sesuai harapan kamu tidak terlalu merasakan sakit dan agar kamu tidak merasa seperti diberi harapan palsu, apa jangan-jangan kamunya aja yang merasa diberi harapan, padahal orang yang dimaksud tak merasakan perasaan yang sama sedikitpun, jadi kesannya kamu aja yang terlalu berharap, miris nggak sih...
came on girls...stay calm and moving on

sebelum mencintai hambanya, terlebih dahulu cintailah pemilikNya, Sang Maha Cinta yang padaNya berpulang segala harapan dan karenaNya lah sosok yang kini kau kagumi menjadi seperti yang ada dalam pandanganmu. jangan kau cintai seseorang melainkan atas dasar kecintaanmu padaNya. jangan risau perkara jodoh, jika telah waktunya Allah akan hadirkan seseorang yang telah ditetapkanNya untukmu.
اللهم إنى أسألك حبك, و حب من يحبك, و حب العمل الذى يقربنى إلى حبك                      

kalau bicara masalah cinta pasti tak ada habisnya, akan ada saja keluhan-keluhan lainnya, kembali kepada diri masing-masing. tinggalkan apa saja yang sekiranya meragukan hatimu. terkhusus untuk seorang teman yang baru saja berkeluh kesah tentang hal ini, bertahanlah pada prinsipmu, tetap istiqomah, la'allahu khair insyaallah...



Minggu, 22 Maret 2015

Qanathir el Khairiyah



(spesial untuk generasi emas, 15’th generation of KNPI)




Karya: Rahmatul Laili



Qanathir el-khairiyah
Setiap sisi bertanya, apa itu
Seluruh penjuru tak ada yang tau, siapa dia
Semesta masih ragu, kenapa mereka
Ini baru pemula

Qanathir el-khairiyah
Bukan saya, tidak dia, apalagi mereka
Tapi itu kita, ya kita el-qaerha
Wajah boleh tak serupa
Namun hati kita satu, menyatu dalam cinta

Qanathir el-khairiyah
Jarak boleh memberi ruang
Tapi jangan jadikan ia penghalang
adakah terngiang janji singgalang
Akan ukhuwah yang takkan pernah lekang 

Qanathir el-khairiyah
Tak mengapa pikiran berbeda
Tujuan kita tetap sama
Melangkah untuk cita-cita
Demi hari esok nan bahagia

Qanathir el-khairiyah
Kelamnya malam usah takuti
Bintang tak mungkin hadir siang hari
Jangan risau pada merapi
Kabut  takkan lama menutupi

Qanathir el-khairiyah
Biarkan mereka yang sekarang mencela
Kayuh saja terus perahumu
Hingga dunia menjadi percaya
Dan mereka tertunduk malu

Qanathir el-khairiyah 
Katakan kita ada, kita satu
Sorakkan kita bisa, kita mampu
Yakinkan impian bukan sekedar angan-angan
Buktikan ia pasti dalam genggaman



Ciputat, 13 Oktober 2014