Rabu, 15 Oktober 2014
Hujan
pertama di siang hari, semenjak ia menginjakkan kaki di tanah jawa. Hujan siang
itu mengundang air mata, ia juga tak tau kenapa. Entah karena satu minggu lalu,
ia baru saja melepas jingga yang hadirnya tak pernah diprediksikan , atau ada
faktor lain menjanggal di hati. Rasa sedih yang teramat dalam, pikirannya
merambat ke masa-masa yang telah ia lewati.
“Ya
Allah...lancarkanlah ujian kami, sukseskan kami, luluskan kami pada ujian
nasional...” kalimat ini menari-nari di angannya. Mungkin itu juga menjadi
salah satu faktor hadirnya kesedihan kala itu. Ketika masih beseragam putih
abu-abu, detik-detik menjelang Ujian Nasional, suasana hujan selalu dijadikan
kesempatan untuk berdo’a, karena do’a di saat hujan merupakan salah satu do’a
yang maqbul, begitu penjelasannya. Tak tahu, apakah cara berdo’a dengan sura lantang di depan kelas lalu
diaminkan bersama termasuk cara yang benar atau tidak namun, tampak ada bahagia
yang terselip di setiap senyuman mereka , kenangan yang dapat memecah tawa di
masa nostalgia kelak. Memang unik karakter anak asrama.
“Lalu, apa sebenarnya yang kamu
tangisi?” tanyanya pada diri sendiri.
Tuhan
ciptakan alur kehidupan yang begitu indah. Sangat sulit baginya untuk berpisah.
Bukannya hidup ini antara pertemuan dan perpisahan? Ya, ia tahu itu. Tak ada
yang harus disesali, hanya saja semua terlalu manis untuk dikenang.
“Inilah
susahnya wanita, apa saja selalu dikaitkan dengan hati...” ia terlalu sering
mengeluh.
“ Kalian teman yang takkan pernah hilang dari ingatanku, adanya
kalian telah membuat masa putih abu-abuku penuh warna, ” gumamnya. Jarak benar telah memberi ruang. Mereka semua melangkah mengawali
mimpi-mimpi yang pernah dirangkai bersama di bawah singgasana kota kabut. Tak
sabar ia menunggu waktu yang akan kembali mempertemukan ia dan seluruh sahabat
masa putih abu-abunya.
“ Kunanti
kalian di masa kesuksesan, teman...” isaknya semakin tak kuasa menahan
tangisan. Tak perlu menunggu pergantian menit, bulir bening itu telah membasahi
pipinya.
Ia terduduk di sudut ruangan kelas menatap jarum jam lekat-lekat.
Lamunan membawanya kembali terbang ke masa lalu. “ Kau tahu teman, talago
di awal perjumpaan kita masih digenangi air, namun seiring mendekatnya detik
perpisahan, talago itu sudah seperti padang rumput.“
“ Hei,
bila rindu berkunjunglah kemari, ” seakan tumbuhan yang menutupinya tersenyum
ramah menyapa dalam angan. Pandangannya kian menerawang menembus layar ponsel. Dahulu
ia menghabiskan hari-harinya di sana, sekarang ia hanya bisa melihat tempat itu
dari sebuah foto.
Kotobaru,
begitulah panggilan akrab untuk sebuah sekolah yang bersaksi atas jalinan
ukhuwah suci. Ukhuwah yang melekat hangat dengan sebutan Qanathir
El-Khairiyah. Ya, demikian nama generasi yang diberikan seorang guru kepada
mereka tepat di hari Rabu, 14 Sepetember 2011, biasa disingkat dengan el-qaerha.
Semenjak pemberian nama generasi itu ukhuwah yang terjalin semakin erat.
Walau terkadang ada perselisihan namun, perbedaan jualah yang akhirnya
menyatukan kembali. Kurang lebih tiga tahun lamanya mereka menjalani kehidupan
bersama sebagai anak asrama.
Tanggal 14 Sepetember setiap tahunnya selalu dirayakan sebagai hari jadi generasi. Bukan sebuah pesta mewah melainkan hanya acara berbentuk syukuran atas anugerah tuhan yang telah mempersatukan, ditambah kehadiran seorang ustad yang seperti sosok ayah bagi mereka. Beliaulah yang memberi nama untuk generasi itu, generasi bagaikan sebuah keluarga kecil, keluarga yang akan selalu ada sebagai tempat kembali di saat mereka tak tau ke mana harus pulang dan melangkah. Begitu kuatnya tali kekeluargaan yang mengikat erat sebuah ukhuwah.
Tanggal 14 Sepetember setiap tahunnya selalu dirayakan sebagai hari jadi generasi. Bukan sebuah pesta mewah melainkan hanya acara berbentuk syukuran atas anugerah tuhan yang telah mempersatukan, ditambah kehadiran seorang ustad yang seperti sosok ayah bagi mereka. Beliaulah yang memberi nama untuk generasi itu, generasi bagaikan sebuah keluarga kecil, keluarga yang akan selalu ada sebagai tempat kembali di saat mereka tak tau ke mana harus pulang dan melangkah. Begitu kuatnya tali kekeluargaan yang mengikat erat sebuah ukhuwah.
Di tahun
pertama hari jadi el-qaerha hanya ada berbagai ungkapan rasa syukur dan
bahagia atas usia kebersamaan yang telah menginjak angka satu. Sedang di tahun
kedua, malam 14 Sepetember dirayakan dengan berurai air mata. Tampak jelas kesedihan
yang mendalam ketika ia dan para sahabatnya tertunduk mendengar kata demi kata
yang keluar dari lisan seorang ustad yang kerap dipanggil abuna.
Kata-kata beliau mengisyaratkan kentalnya kesedihan mengingat kebersamaan yang tinggal
hitungan bulan. Tak ada suara yang keluar melainkan isak tangis yang memenuhi
setiap sudut ruangan.
Kamis, 23
Januari 2014 adalah malam bersejarah. Banyak kenangan di hari itu. Setiap
mereka bernampilan sebagus dan serapi mungkin, berusaha mempersembahkan yang
terbaik di hadapan semua orang yang memenuhi aula asrama. Diawali
lelucon-lelucon khas anak asrama yang berhasil memecah tawa, acara malam itu
berlangsung sangat heboh. Kemudian satu persatu mulai terdiam, tertunduk, lalu
tak bersuara. Isakan kecil perlahan terdengar, tangisan mengakhiri kemeriahan
malam. Kata-kata yang diucapkan seorang sahabat berhasil membungkam mulut semua
yang tadinya tertawa sedemikian heboh. Malam itu merupakan malam terakhir
mereka menjalani muhadharah mingguan sebagai anak asrama. Minggu-minggu
berikutnya mereka hanya akan disibukkan dengan berbagai macam persiapan jelang
Ujian Nasional.
“Pertemuan
yang tak pernah aku terka, perpisahan yang tak sempat kubayangkan. Kini, satu
persatu bunga sakura itu mulai layu dan berguguran, pertanda waktu tak berapa
lama lagi,” goresan tinta di sela catatan hariannya masih tampak jelas.
Dulu ketika masih duduk di bangku kelas XI mereka pernah menghias panggung perpisahan
untuk kakak kelas XII dengan nuansa Jepang, memberikan pohon sakura di setiap
sudut ruangan. Ia membalik lembar demi lembar catatan hariannya.
“Canda tawa
yang pernah ada, pertengkaran yang berarti, teguran demi teguran. Akankah kelak
masih aku temui? Tak sanggup kumembayangkan ketika nanti aku terbangun dan
mendapati diriku tak lagi berada di bawah atap yang sama dengan kalian,”
butiran-butiran bening malam itu menjadi saksi kentalnya sebuah ukhuwah, waktu
yang hanya beberapa jam telah menjadi sejarah penting bagi pejuang el-qaerha.
“Cukup
tuliskan kisah kita dalam diary hati dan pikiran takkan mampu menghapusnya. Aku
bahagia karena Aku, Kamu, dan Kita semua pernah ada untuk pertemuan singkat
ini. Seperti sebuah mimpi, tapi aku bangga bisa berada di tempat itu bersamamu
sahabat, hingga akhir jasad ini menyatu dengan tanah negeri yang entah di
belahan bumi mana. Walau semua akan segera menghilang seperti mimpi tadi
malam.”
Kapal semakin
mendekati dermaga, masa putih abu-abu akan segera menepi. Rabu, 16 April 2014
adalah hari di mana mereka meneteskan tetes darah terakhir dalam perjuangan
menguak jawaban di balik soal-soal Ujian Nasional. Begitu bel berbunyi tanda
waktu ujian berakhir, mereka pun bersorak gembira meninggalkan ruang ujian.
Meski rasa cemas menunggu hasil ujian masih menghantui namun, tak menghalangi
mereka untuk tetap tersenyum senang dan bergaya narsis siang itu. Demikian
gambar yang berhasil diabadikan di balik layar camera dygital. Ujian
Nasional berakhir, satu demi satu sahabat mulai meninggalkan asrama membawa
semua barang-barangnya tanpa membiarkan satu pun tersisa. Suasana perpisahan
melekat jelas di depan mata, sembilu tajam menyayat-nyayat relung hatinya. Tak
kuasa ia sembunyikan tangisan, ia perlihatkan perasaan yang sebenarnya, ia
belum siap untuk berpisah. Waktu melarutkan dalam kesedihan, mereka saling
berpelukan, merangkul satu sama lain. Sengaja ia meninggalkan asrama lebih
akhir, karena ingin melihat satiap langkah sahabat-sahabat yang meninggalkan
asrama lebih awal. Kehebohan asrama tak seperti biasa, tak seperti
teriakan-teriakan pagi hari saat kehabisan air. sungguh menyedihkan, bukan?
Selasa, 20 Mei
2014
Hari itu pengumuman kelulusan siswa
SMA. Mereka kembali berkumpul di asrama. Perasaan bahagia yang tak bisa
digambarkan, saling berpelukan sebagai ungkapan betapa mereka sangat merindu. Sore yang
dihiasi rintik-rintik hujan, mereka berjalan menuju kelas, berbagai macam perasaan
berkeliaran di pikiran. Seakan tak sabar mendengar pengumuman. Apakah masa
putih abu-abu diakhiri dengan tangis bahagia atau tangis penyesalan.
“ayolah!!! Ustad, kami lulus atau
nggak, Ustad????”, Ayu, seorang teman yang sulit sembunyikan rasa cemas.
Rengekan manjanya setelah mendengar teriakan nyaring teman kelas sebelah
berhasil mengundang tawa geli wali kelas.
Setelah puas
melihat murid-murid yang semakin gelisah, disertai senyuman merekah wali kelas
pun menyampaikan kabar baik yang dinanti-nantikan. Berita itu mereka sambut
dengan sorakan-sorakan yang tak kalah berisiknya dari sorakan teman-teman di
kelas lain, sorakan yang diiringi suara pukulan-pukulan meja. Ada yang
tersenyum, ada yang menangis hebat, ada yang saling berpelukan, dan ia, ia
bersorak sehabis suara. Meneriakkan pada langit yang tak lagi meneteskan
airnya, bahwa sore itu ia, tepatnya mereka semua berhasil mengakhiri masa putih
abu-abu dengan tangis bahagia tanpa seorang pun yang gagal. “Terimakasih Ya
Allah....” ucapnya lirih.
Kegembiraan
berlanjut pada malam hari, saat kelulusan dirayakan bersama seorang ustad yang
sangat berarti dalam terciptanya kekeluargaan antara mereka. Mendengar kabar
kelulusan mereka, sang ustad tak kalah bahagia, namun sinar mata beliau tak
dapat berbohong. Ada kesedihan terselip di balik senyuman indahnya. Kenapa
tidak, setelah malam itu entah kapan lagi mereka dapat berkumpul bersama,
merasakan kehangatan di tengah-tengah keluarga kecil. Tiga tahun bernaung di
bawah kota kabut memberi arti tersendiri. Waktu berputar semakin cepat, hingga akhirnya
semua berpencar-pencar. Sebahagian ada yang meninggalkan tanah sumatera,
perpisahan demi mengawali langkah baru untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang pernah
diukir di bawah kaki merapi dan singgalang.
Di sekolah itu segala cerita tentang cinta dan persahabatan bermula, kemudian berlalu menyisakan kenangan. Pasti akan sangat dirindukan. Di sana ia pernah menemukan sesuatu yang bernama suka, duka, bahkan luka. Selain hangatnya persahabatan, Kotobaru juga menghadirkan warna-warni masa remaja di hari-harinya. Bagaimana semua tidak menjadi kenangan yang sulit dilupakan. Hanya melalui catatan-catatan harian ia dapat mengenang masa putih abu-abu yang tak akan pernah kejadian dua kali.
Di sekolah itu segala cerita tentang cinta dan persahabatan bermula, kemudian berlalu menyisakan kenangan. Pasti akan sangat dirindukan. Di sana ia pernah menemukan sesuatu yang bernama suka, duka, bahkan luka. Selain hangatnya persahabatan, Kotobaru juga menghadirkan warna-warni masa remaja di hari-harinya. Bagaimana semua tidak menjadi kenangan yang sulit dilupakan. Hanya melalui catatan-catatan harian ia dapat mengenang masa putih abu-abu yang tak akan pernah kejadian dua kali.
***
Terimakasih sahabat
Tanpa kalian, masa putih
abu-abu takkan sempurna
hiks hiks hiks :'( :'(
BalasHapus