Senin, 30 Maret 2015

Kenangan dalam Hujan


            Rabu, 15 Oktober 2014
Hujan pertama di siang hari, semenjak ia menginjakkan kaki di tanah jawa. Hujan siang itu mengundang air mata, ia juga tak tau kenapa. Entah karena satu minggu lalu, ia baru saja melepas jingga yang hadirnya tak pernah diprediksikan , atau ada faktor lain menjanggal di hati. Rasa sedih yang teramat dalam, pikirannya merambat ke masa-masa yang telah ia lewati.
Ya Allah...lancarkanlah ujian kami, sukseskan kami, luluskan kami pada ujian nasional...” kalimat ini menari-nari di angannya. Mungkin itu juga menjadi salah satu faktor hadirnya kesedihan kala itu. Ketika masih beseragam putih abu-abu, detik-detik menjelang Ujian Nasional, suasana hujan selalu dijadikan kesempatan untuk berdo’a, karena do’a di saat hujan merupakan salah satu do’a yang maqbul, begitu penjelasannya. Tak tahu, apakah cara  berdo’a dengan sura lantang di depan kelas lalu diaminkan bersama termasuk cara yang benar atau tidak namun, tampak ada bahagia yang terselip di setiap senyuman mereka , kenangan yang dapat memecah tawa di masa nostalgia kelak. Memang unik karakter anak asrama.
            “Lalu, apa sebenarnya yang kamu tangisi?” tanyanya pada diri sendiri.
Tuhan ciptakan alur kehidupan yang begitu indah. Sangat sulit baginya untuk berpisah. Bukannya hidup ini antara pertemuan dan perpisahan? Ya, ia tahu itu. Tak ada yang harus disesali, hanya saja semua terlalu manis untuk dikenang.
“Inilah susahnya wanita, apa saja selalu dikaitkan dengan hati...” ia terlalu sering mengeluh.
“ Kalian teman yang takkan pernah hilang dari ingatanku, adanya kalian telah membuat masa putih abu-abuku penuh warna, ” gumamnya. Jarak benar telah memberi ruang. Mereka semua melangkah mengawali mimpi-mimpi yang pernah dirangkai bersama di bawah singgasana kota kabut. Tak sabar ia menunggu waktu yang akan kembali mempertemukan ia dan seluruh sahabat masa putih abu-abunya.
“ Kunanti kalian di masa kesuksesan, teman...” isaknya semakin tak kuasa menahan tangisan. Tak perlu menunggu pergantian menit, bulir bening itu telah membasahi pipinya.
Ia terduduk di sudut ruangan kelas menatap jarum jam lekat-lekat. Lamunan membawanya kembali terbang ke masa lalu. “ Kau tahu teman, talago di awal perjumpaan kita masih digenangi air, namun seiring mendekatnya detik perpisahan, talago itu sudah seperti padang rumput.“
“ Hei, bila rindu berkunjunglah kemari, ” seakan tumbuhan yang menutupinya tersenyum ramah menyapa dalam angan. Pandangannya kian menerawang menembus layar ponsel. Dahulu ia menghabiskan hari-harinya di sana, sekarang ia hanya bisa melihat tempat itu dari sebuah foto.
Kotobaru, begitulah panggilan akrab untuk sebuah sekolah yang bersaksi atas jalinan ukhuwah suci. Ukhuwah yang melekat hangat dengan sebutan Qanathir El-Khairiyah. Ya, demikian nama generasi yang diberikan seorang guru kepada mereka tepat di hari Rabu, 14 Sepetember 2011, biasa disingkat dengan el-qaerha. Semenjak pemberian nama generasi itu ukhuwah yang terjalin semakin erat. Walau terkadang ada perselisihan namun, perbedaan jualah yang akhirnya menyatukan kembali. Kurang lebih tiga tahun lamanya mereka menjalani kehidupan bersama sebagai anak asrama.
Tanggal 14 Sepetember setiap tahunnya selalu dirayakan sebagai hari jadi generasi. Bukan sebuah pesta mewah melainkan hanya acara berbentuk syukuran atas anugerah tuhan yang telah mempersatukan, ditambah kehadiran seorang ustad yang seperti sosok ayah bagi mereka. Beliaulah yang memberi nama untuk generasi itu, generasi bagaikan sebuah keluarga kecil, keluarga yang akan selalu ada sebagai tempat kembali di saat mereka tak tau ke mana harus pulang dan melangkah. Begitu kuatnya tali kekeluargaan yang mengikat erat sebuah ukhuwah.
Di tahun pertama hari jadi el-qaerha hanya ada berbagai ungkapan rasa syukur dan bahagia atas usia kebersamaan yang telah menginjak angka satu. Sedang di tahun kedua, malam 14 Sepetember dirayakan dengan berurai air mata. Tampak jelas kesedihan yang mendalam ketika ia dan para sahabatnya tertunduk mendengar kata demi kata yang keluar dari lisan seorang ustad yang kerap dipanggil abuna. Kata-kata beliau mengisyaratkan kentalnya kesedihan mengingat kebersamaan yang tinggal hitungan bulan. Tak ada suara yang keluar melainkan isak tangis yang memenuhi setiap sudut ruangan.
Kamis, 23 Januari 2014 adalah malam bersejarah. Banyak kenangan di hari itu. Setiap mereka bernampilan sebagus dan serapi mungkin, berusaha mempersembahkan yang terbaik di hadapan semua orang yang memenuhi aula asrama. Diawali lelucon-lelucon khas anak asrama yang berhasil memecah tawa, acara malam itu berlangsung sangat heboh. Kemudian satu persatu mulai terdiam, tertunduk, lalu tak bersuara. Isakan kecil perlahan terdengar, tangisan mengakhiri kemeriahan malam. Kata-kata yang diucapkan seorang sahabat berhasil membungkam mulut semua yang tadinya tertawa sedemikian heboh. Malam itu merupakan malam terakhir mereka menjalani muhadharah mingguan sebagai anak asrama. Minggu-minggu berikutnya mereka hanya akan disibukkan dengan berbagai macam persiapan jelang Ujian Nasional.
Pertemuan yang tak pernah aku terka, perpisahan yang tak sempat kubayangkan. Kini, satu persatu bunga sakura itu mulai layu dan berguguran, pertanda waktu tak berapa lama lagi,” goresan tinta di sela catatan hariannya masih tampak jelas. Dulu ketika masih duduk di bangku kelas XI mereka pernah menghias panggung perpisahan untuk kakak kelas XII dengan nuansa Jepang, memberikan pohon sakura di setiap sudut ruangan. Ia membalik lembar demi lembar catatan hariannya.
Canda tawa yang pernah ada, pertengkaran yang berarti, teguran demi teguran. Akankah kelak masih aku temui? Tak sanggup kumembayangkan ketika nanti aku terbangun dan mendapati diriku tak lagi berada di bawah atap yang sama dengan kalian,” butiran-butiran bening malam itu menjadi saksi kentalnya sebuah ukhuwah, waktu yang hanya beberapa jam telah menjadi sejarah penting bagi pejuang el-qaerha.
Cukup tuliskan kisah kita dalam diary hati dan pikiran takkan mampu menghapusnya. Aku bahagia karena Aku, Kamu, dan Kita semua pernah ada untuk pertemuan singkat ini. Seperti sebuah mimpi, tapi aku bangga bisa berada di tempat itu bersamamu sahabat, hingga akhir jasad ini menyatu dengan tanah negeri yang entah di belahan bumi mana. Walau semua akan segera menghilang seperti mimpi tadi malam.”
Kapal semakin mendekati dermaga, masa putih abu-abu akan segera menepi. Rabu, 16 April 2014 adalah hari di mana mereka meneteskan tetes darah terakhir dalam perjuangan menguak jawaban di balik soal-soal Ujian Nasional. Begitu bel berbunyi tanda waktu ujian berakhir, mereka pun bersorak gembira meninggalkan ruang ujian. Meski rasa cemas menunggu hasil ujian masih menghantui namun, tak menghalangi mereka untuk tetap tersenyum senang dan bergaya narsis siang itu. Demikian gambar yang berhasil diabadikan di balik layar camera dygital. Ujian Nasional berakhir, satu demi satu sahabat mulai meninggalkan asrama membawa semua barang-barangnya tanpa membiarkan satu pun tersisa. Suasana perpisahan melekat jelas di depan mata, sembilu tajam menyayat-nyayat relung hatinya. Tak kuasa ia sembunyikan tangisan, ia perlihatkan perasaan yang sebenarnya, ia belum siap untuk berpisah. Waktu melarutkan dalam kesedihan, mereka saling berpelukan, merangkul satu sama lain. Sengaja ia meninggalkan asrama lebih akhir, karena ingin melihat satiap langkah sahabat-sahabat yang meninggalkan asrama lebih awal. Kehebohan asrama tak seperti biasa, tak seperti teriakan-teriakan pagi hari saat kehabisan air. sungguh menyedihkan, bukan?
Selasa, 20 Mei 2014
Hari itu pengumuman kelulusan siswa SMA. Mereka kembali berkumpul di asrama. Perasaan bahagia yang tak bisa digambarkan, saling berpelukan sebagai ungkapan betapa mereka sangat merindu. Sore yang dihiasi rintik-rintik hujan, mereka berjalan menuju kelas, berbagai macam perasaan berkeliaran di pikiran. Seakan tak sabar mendengar pengumuman. Apakah masa putih abu-abu diakhiri dengan tangis bahagia atau tangis penyesalan.
“ayolah!!! Ustad, kami lulus atau nggak, Ustad????”, Ayu, seorang teman yang sulit sembunyikan rasa cemas. Rengekan manjanya setelah mendengar teriakan nyaring teman kelas sebelah berhasil mengundang tawa geli wali kelas.
Setelah puas melihat murid-murid yang semakin gelisah, disertai senyuman merekah wali kelas pun menyampaikan kabar baik yang dinanti-nantikan. Berita itu mereka sambut dengan sorakan-sorakan yang tak kalah berisiknya dari sorakan teman-teman di kelas lain, sorakan yang diiringi suara pukulan-pukulan meja. Ada yang tersenyum, ada yang menangis hebat, ada yang saling berpelukan, dan ia, ia bersorak sehabis suara. Meneriakkan pada langit yang tak lagi meneteskan airnya, bahwa sore itu ia, tepatnya mereka semua berhasil mengakhiri masa putih abu-abu dengan tangis bahagia tanpa seorang pun yang gagal. “Terimakasih Ya Allah....” ucapnya lirih.
Kegembiraan berlanjut pada malam hari, saat kelulusan dirayakan bersama seorang ustad yang sangat berarti dalam terciptanya kekeluargaan antara mereka. Mendengar kabar kelulusan mereka, sang ustad tak kalah bahagia, namun sinar mata beliau tak dapat berbohong. Ada kesedihan terselip di balik senyuman indahnya. Kenapa tidak, setelah malam itu entah kapan lagi mereka dapat berkumpul bersama, merasakan kehangatan di tengah-tengah keluarga kecil. Tiga tahun bernaung di bawah kota kabut memberi arti tersendiri. Waktu berputar semakin cepat, hingga akhirnya semua berpencar-pencar. Sebahagian ada yang meninggalkan tanah sumatera, perpisahan demi mengawali langkah baru untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang pernah diukir di bawah kaki merapi dan singgalang.
           Di sekolah itu segala cerita tentang cinta dan persahabatan bermula, kemudian berlalu menyisakan kenangan. Pasti akan sangat dirindukan. Di sana ia pernah menemukan sesuatu yang bernama suka, duka, bahkan luka. Selain hangatnya persahabatan, Kotobaru juga menghadirkan warna-warni masa remaja di hari-harinya. Bagaimana semua tidak menjadi kenangan yang sulit dilupakan. Hanya melalui catatan-catatan harian ia dapat mengenang masa putih abu-abu yang tak akan pernah kejadian dua kali.
           

***

Terimakasih sahabat
Tanpa kalian, masa putih abu-abu takkan sempurna 



1 komentar: