oleh : Rahmatul Laili
“ Aku tak pernah berfikir cinta akan menuntun langkahku sejauh
ini,” ujar gadis berkerudung merah muda itu di tengah keramaian kota Istanbul, yang kini menjadi tempat ia berpijak. Langit
jingga yang memanjakan mata seakan menyambut kehadirannya, senja itu dihiasi
warna biru kehijau-hijauan dengan segelintir oranye yang menghiasi setiap
sudutnya. Jiwanya bergetar hebat, gemuruh hati yang kian memicu pergolakan
batin, bulir bening perlahan mengaliri wajah ayunya, ia tertunduk menatap hampa
rumput-rumput yang seolah mentertawakan kelemahannya. Bangunan Hagia Sophia
yang kini tepat berada di depan mata tampak seperti mimpi, ia menepuk-nepuk
ringan pipinya, masih dengan air mata yang terus mengalir, ia menatap lurus
bangunan yang menyimpan kekayaan sejarah itu. Hagia Sophia merupakan salah satu
tempat yang selama ini ia impi-impikan, oleh sebab itu, Turki masuk ke daftar
negara yang ingin ia kunjungi. Perlahan bibirnya mulai mengulum senyuman tipis.
“ Ini Turki dan itu Hagia Sophia,” bisik hatinya. Namun bukan itu alasan
mengapa ia menangis. Ia masih enggan beranjak dari tempat awal ia berdiri.
“ Zahra...” teriak seseorang yang berlari dari kejauhan kemudian
memeluk erat tubuhnya. Perempuan itu tak lain adalah Aliya, sahabatnya sewaktu
di pesantren. Aliya lebih dulu menginjakkan kaki di Turki, ia telah
menyelesaikan jenjang undergraduate di Universitas Istanbul, dan kini
tengah melanjutkan ke jenjang postgraduate di universitas yang sama. Selain
cinta, Aliya lah salah satu pendorong
yang menuntun langkah Zahra hingga ke negeri Turki. Kejadian yang menimpa
benar-benar meluluh lantakkan perempuan yang selama ini dikenal sebagai sosok yang
ceria, cerdas, dan humoris. Dunia bagi Zahra seakan berhenti berputar,
kehidupannya yang selalu dihiasi senyuman berganti murung, terlihat jelas
dari mata yang tak lagi memancarkan
sinar secerah dahulu. Duka itu terlalu menekan Zahra, tak ada alasan untuk dia
tidak terpukul.
“ Ayolah Zahra, sudah saatnya bangkit,” ucap Aliya merangkulnya.
Zahra hanya tersenyum tipis. “ Kemana Zahra sahabatku yang dulu?” kini Aliya
memamerkan deretan giginya memberi senyuman terbaik untuk Zahra. Dulu setiap
kali Aliya bertingkah seperti itu Zahra selalu menarik hidungnya dan berlari
tapi, kini Zahra hanya memeluknya, “ Aku kuat, kalau aku tidak kuat aku takkan
pernah mau ke Turki, karena ini terlalu menyakitkan untuk dikenang.“ Aliya tau
Zahra hanya butuh waktu.
Kebanyakan perempuan pasti rapuh ketika bersentuhan dengan hal-hal
yang menjebaknya dalam ingatan masa lalu yang berakhir menyedihkan tapi, tidak
bagi Zahra. Ia dengan yakin melangkahkan kaki ke Turki dan dengan tegar berdiri
di depan bangunan Hagia Sophia, meski bangunan itu besar kaitannya dengan
lelaki yang telah menyatakan lamarannya. Ketika melamar, lelaki tersebut
berkata akan membawa Zahra mengelilingi Turki setelah pernikahan terlaksana,
menjelajahi bersama jajak-jejak peninggalan islam di negara itu dan Hagia Sophia
adalah tempat pertama yang akan mereka kunjungi. “ Kenapa kamu menjadikan Hagia
Sophia sebagai tempat pertama yang akan dikunjungi?” tanya Zahra. “ Karena dulu
ketika masih di pesantren, secara tidak sengaja saya pernah mendengar kamu
berkata pada salah seorang temanmu, bahwa menurutmu Hagia Sophia adalah tempat
yang paling romantis melebihi Menara Eiffel, Taj Mahal, dan apapun itu.”
Jawaban yang menggetarkan hati, lelaki yang tengah menyatakan niat tulusnya mengetahui
betul tempat yang selama ini menjadi impian Zahra.
Dikala rasa mulai memupuk benih-benih cinta seketika harus
terperangkap di sudut hati, ingin keluar tapi, cinta telah tertutup rapat dan
terkunci. Disaat ia dipaksa menjauh sepertinya hati ingin sekali berteriak, kemana
cinta yang menjanjikan ucapan suci. Menyalahi namun siapa yang akan disalahi,
karena tak ada yang berhak menyalahi suratan takdir Illahi. Lelaki yang kemarin
hampir melengkapi kebahagiaannya, mengakhiri kisah cinta mereka yang bahkan
belum dimulai, akibat kecelakaan mobil yang seketika merenggut nyawanya. Tiada
jeda bagi waktu yang mempersilahkan Zahra tersenyum, secepat kilat senyuman itu
berganti air mata. Turki dan Hagia Sophia meninggalkan kenangan yang belum
sempat dirajut, janji tinggal janji yang tak akan mungkin terwujud, bukan
karena ingkar tapi, takdir yang mengizinkan pertemuan sebatas lamaran.
Bagaikan sambaran petir menghantam seluruh relung hatinya, Zahra
terkubur terlalu dalam bersama hitam putih kehidupan, semangatnya seolah pergi
ditelan janji yang dibawa mati. Tak tahu
dari mana ia akan menyusun kembali puzzle kehidupannya yang seketika
berantakan. Zahra sadar ia tak boleh selemah ini, larut dalam kesedihan tidak
akan mengembalikan yang telah tiada. Zahra berusaha mengeluarkan dirinya dari
perangkap kesedihan. Disaat perempuan lain yang bernasib sama mencoba menjauh
dari bayangan masa lalu, lain bagi Zahra yang berniat untuk segera berangkat ke
Turki melanjutkan pendidikannya, menggali kembali semangat yang sempat terkubur
dalam kenangan pahit. Seberapa mampu ia tersenyum di hadapan Hagia Sophia meski
getir. Walau lelaki itu begitu cepat pergi dari kehidupannya tapi, mimpinya tak
boleh luntur. Aliya yang mendengar keinginan sahabatnya tentu sangat mendukung,
dengan senang hati ia menyambut kehadiran Zahra.
Jingga berganti kelam, matahari telah sempurna kembali ke
peraduannya, kini rembulan menduduki singgasana langit bersama sejumlah bintang
yang mengelilingi. Dua gadis berkerudung lebar itu beranjak pulang. Selama di
Turki Zahra tinggal bersama Aliya, ia akan merajut kembali benang-benang
kehidupan yang sempat kusut. Gagal dalam urusan cinta tak seharusnya mematahkan
segalanya. Aliya tau sahabatnya adalah perempuan hebat dan luka yang menganga
perlahan akan tertutup seiring berputarnya siklus kehidupan. Zahra masih sering
mengunjungi Hagia Sophia, bangunan yang kini tidak hanya menjadi saksi sejarah
umat Islam namun, juga menjadi saksi cerita cintanya. Hagia Sophia tak lagi
memicu tangisan, secercah senyuman mulai menutupi celah kesedihan Zahra.
. Siang itu tanpa ditemani Aliya, Zahra menyusuri jalanan sepanjang
kawasan Sultanahmet, menikmati musim semi pertamanya di Istanbul. Tinggal di
negeri bersejarah menjadi dinamo tersendiri dalam dirinya, mengingat
keberhasilan Dinasti Usmani dalam menaklukkan Konstantinopel (Istanbul) dibawah
kekuasaan putra Sultan Murad II yang bergelar Muhammad Al-fatih. Zahra semakin
larut dengan keelokan negeri sejuta masjid yang perlahan menutupi kenangan pahitnya. Musim
semi yang mengesankan dengan suhu yang tidak terlalu dingin dan tidak terlalu
panas, juga bunga-bunga tulip yang bermekaran di sepanjang taman menyejukkan
pandangan mata. Setelah lelah berjalan, ia mencari tempat beristirahat sejenak,
posisinya lurus menghadap Blue Mosque yang terletak berseberangan dengan
Hagia Sophia. Ia mengeluarkan sebotol minuman dari dalam tas dan meminumnya,
lalu mengirim pesan singkat, memberi tahu Aliya bahwa ia sedang menikmati musim
semi di luar apartemen, takut Aliya mengkhawatirkannya. Kemudian perhatiannya
terpusat pada suara yang entah darimana sumbernya, suara merdu lantunan ayat
suci Al-quran yang menenteramkan kesunyian kalbu.“ Suara siapa itu?” bisiknya
dalam hati.
Zahra berjalan mendekati
sumber suara sambil bertanya-tanya siapa gerangan bersuara emas yang sedang
melantunkan pertengahan surat Al-baqarah. Langkahnya terhenti ketika mendapati
sang pemilik suara adalah lelaki yang menemukan ponselnya di bandara beberapa
hari lalu, kalau saja lelaki itu tidak menemukan ponselnya, ia tak tahu
bagaimana menghubungi Aliya. “ Subhanallah, hafalan yang sempurna dengan
bacaan yang indah,” terbesit kekaguman di hati Zahra, terpancar ketenangan dari
ayat-ayat Al-quran yang dilantunkan lelaki berwajah teduh tersebut.
“ Eheemm...”
suara Aliya yang seketika telah berdiri disampingnya membuat Zahra terperanjak
kaget.
“ Lagi
ngeliatin siapa hayo...” goda Aliya
“ Nggak
ngelihat siapa-siapa kok”
“Ekspresimu
tidak mendukung untuk berbohong,” kalimat Aliya ini membungkam mulutnya, Zahra
kebingungan akan menjawab apa dan lebih memilih diam.
“ Namanya
Syamil,” ujar Aliya.
“ Kamu
kenal dia?” tanya Zahra sedikit tidak percaya
“ Dia
juga mahasiswa asal Indonesia “
Zahra memutuskan untuk tidak
bertanya apa-apa tentang Syamil. Ia dapat menerka apa yang ada dipikiran Aliya,
ia paham betul keusilan sahabatnya. Zahra berusaha menutup rapat rasa
penasarannya terhadap Syamil. “ Toh, kalau Syamil juga salah satu mahasiswa
Indonesia yang belajar di Turki suatu saat ia pasti saling kenal,” batin Zahra.
Ia takut rasa kagumnya yang sesaat berubah menjadi simpati dan berujung cinta,
ia masih terlalu rapuh untuk jatuh cinta, takut kenangan pahit kembali
menghantuinya. Sebisa mungkin ia menjauh dari masa lalu namun, bayangan
menyedihkan itu selalu saja menghentikan langkahnya ketika hati mulai
menelusuri lorong-lorong cinta.
“ Kamu
tertarik sama Syamil?” pertanyaan Aliya memecahkan lamunannya.
“ Tidak,
sebelumnya aku pernah ketemu dia di bandara, dia yang menemukan ponselku waktu
itu “
“ Dia
seorang hafizh yang cerdas,” bisik Aliya dengan mata yang sedikit disipitkan,
sementara Zahra tetap tak bereaksi apa-apa, ia tak ingin perasaannya terbaca
oleh Aliya.
Sebulan sudah ia menetap dan
berstatus mahasiswa di Universitas Istanbul, kesibukan perkuliahan yang
melelahkan tapi cukup menyenangkan bagi gadis seperti Zahra, ketertarikannya
pada pengetahuan sejarah menambah semangatnya untuk menelusuri setiap sudut
negara Turki. Hari itu ia dan beberapa orang teman kampus ditugasi meneliti nilai-nilai sejarah yang berada di Bursa,
kota yang konon merupakan tempat Dinasti Usmani berawal. Ia dan rombongan memulai
perjalanan menuju Bursa dengan kapal ferry yang membawa mereka menyeberangi
Laut Marmara, laut yang memperjelas keindahan kota Istanbul.
Penelitian di Bursa memakan waktu
tiga hari, Zahra dan rombongannya memilih menginap di kiraz house,
setelah beristirahat sejenak mereka mulai menyusuri jalanan Bursa, tempat
pertama yang mereka tuju adalah kawasan hijau, disana terdapat yesil cami
atau green mosque dan yesil turbe atau makam hijau yang letaknya
saling berdekatan. Salah satu dari rombongan menjelaskan tentang tempat yang
saat itu mereka kunjungi khususnya makam hijau yang merupakan makam Sultan
Mehmet II, sultan kelima Dinasti Usmani. Penjelasannya terperinci mengenai
Bursa, dari awal mula kota itu sampai direbut oleh putra Osman Gazi hingga pernah
menjadi ibukota Dinasti Usmani sebelum Muhammad Alfatih berhasil menaklukkan Konstantinopel.
Zahra hanya bisa mendengarkan sedang pandangannya terhalangi jejeran punggung
mahasiswa yang kebanyakan berkebangsaan Turki dan Arab yang sudah jelas jauh
lebih tinggi darinya.
“ Who
is the speaker?” tanya Zahra pada gadis berdarah China yang berdiri
disampingnya.
“ I
don’t know, but I think he is Indonesia.”
“ Oh,
Indonesia?” pernyataan gadis China barusan membuat Zahra sedikit bangga.
Penjelasan yang hebat dari seorang mahasiswa Indonesia. “ Luar biasa,” gumamnya
pelan diiringi senyuman.
Setelah berkeliling kawasan hijau
mereka memutuskan untuk kembali ke penginapan dan melanjutkan penelitian esok
hari namun, Zahra masih penasaran dengan mahasiswa yang tadi memberikan
penjelasan yang isunya berasal dari Indonesia, ia menyebarkan pandangan ke
setiap penjuru.
“ Assalamualaikum,
lagi cari siapa?” sapa seseorang yang membuat Zahra hampir kehilangan cara
berpikir jernih. Sosok yang kini berada dihadapannya sungguh diluar dugaan.
“ Waalaikumsalam,
tidak, tidak mencari siapa-siapa,” jawabnya terbata-bata.
“ Kamu
yang kehilangan Hp di bandara waktu itu bukan?” Zahra hanya menjawab dengan
anggukan ringan.
“ Aku
Syamil dari Surabaya,” ucap lelaki itu seraya mengatupkan kedua tangannya di
depan dada.
“
Zahra dari Pekanbaru,” sahutnya bersikap seperti orang yang sama sekali belum
mengetahui nama lelaki tersebut.
Selain mereka berasal dari negara
yang sama, Syamil merupakan sosok orang yang mudah bergaul, bagaikan teman lama
yang baru bertemu, mereka larut dalam obrolan seputar sejarah, sebelum berpisah
arah Syamil memberikan alamat blog-nya pada Zahra, “ Kalau ada waktu silahkan
baca-baca tulisan saya.” Di akhir obrolan Zahra juga tak lupa memuji penjelasan
Syamil yang luar biasa, sepertinya ia benar-benar mendalami penelitiannya di
bidang sejarah.
Semenjak perjalanan tugas ke Bursa, Zahra tahu bahwa Syamil belajar
di universitas yang sama dengannya. Ia merasa ada sesuatu yang aneh, seperti
kesenangan yang terselip, entah karena tempat-tempat bersejarah yang menarik
selama di Bursa atau karena secara tak sengaja ia berkenalan dengan Syamil
tapi, ia berusaha keras menolak kenyataan dan mengacuhkan perasaan tersebut,
sehingga suatu hari dengan berbagai alasan ia menolak ajakan Syamil untuk
mengunjungi festival tulip di Istanbul park bersama teman-teman kampus
lainnya. Yang ia pikirkan bagaimana agar tidak terperangkap terlalu lama dalam
perasaan yang ia sendiri tak tahu pasti.
Musim semi akan segera berakhir, hawa mulai terasa hangat, bunga
tulip satu per satu mati, para pekerja sibuk merapikan taman-taman dan
menggantinya dengan bunga mawar dan daisy aneka rupa. Zahra membuka pintu apartemen
dan berjalan menuju kampus, tuntutan tugas mengharuskannya mencari beberapa
buku referensi maka ia akan menghabiskan waktu seharian di perpustakaan.
Pandangannya langsung tertuju pada bangku yang biasa di duduki Syamil ketika
membaca. “ Seharusnya pria tinggi berkacamata itu sedang duduk disana dengan tumpukan
buku yang mengelilinginya, tapi kemana ia? Bukannya ia tak pernah absen
mengunjungi perpustakaan,” Zahra mencoba menepis berbagai pertanyaan yang
menggelayuti pikirannya. Hari demi hari silih berganti, Zahra selalu
menyempatkan waktu mengunjungi perpustakaan namun, keberadaan Syamil tak juga
didapatinya. Ia teringat pada secarik kertas bertuliskan alamat blog yang
diberi Syamil beberapa minggu lalu saat penelitian di Bursa, perhatiannya kini
terarah pada tulisan-tulisan hasil postingan di blog milik Syamil. Rasa
penasarannya semakin memuncak ketika ia membaca kebanyakan dari tulisan Syamil
bercerita tentang Mesir bukan Turki, Zahra pun segera membuka profil penulis,
seketika kelopak matanya berhenti berkedip, ia menatap lurus tulisan yang
berada di layar laptop, rasa penasarannya kini telah terjawab, Syamil adalah
seorang mahasiswa Universitas Al-azhar Kairo dan kedatangannya ke Istanbul
hanya untuk penelitian jejak peradaban islam masa lampau.
“ Kamu
sudah tidak di Istanbul?” tanya Zahra melalui email.
“ Aku
udah kembali ke Kairo, maaf nggak sempat pamit,” balas Syamil selang beberapa
menit.
Tak tahu mengapa Zahra susah mengartikan perasaannya sendiri, ia
bingung apa yang sebenarnya sedang ia rasakan, kenapa tiba-tiba ia menyesal
menolak ajakan Syamil ke festival tulip waktu itu, tangisan yang tak kuasa ia
bendung kini tumpah bersama penyesalan. Ia menyadari Syamil adalah sosok yang
ia kagumi, ingatannya merambat ke hari dimana Syamil menemukan ponselnya,
lantunan hafalan Al-quran Syamil yang tak sengaja ia dengar , dan cerita
perjelanan ke Bursa yang menjadi awal perkenalan antara mereka, semua diluar
rencana siapapun tapi, tangan Allah lah yang telah mengatur semua sedemikian
rupa, walau kekaguman hanya akan menjadi rasa terpendam. Tujuan awal ia melangkah
jauh sampai ke Turki semata untuk menggali kembali semangat yang pernah pudar
terbawa cinta namun, tak dapat dipungkiri bahwa pertemuannya dengan Syamil
telah menyisakan setitik rasa, Zahra tak banyak berharap, andai saja ada
pertemuan kedua untuk mereka.
Hawa musim panas semakin terasa, Aliya kembali menangkap celah
kesedihan di wajah sahabatnya, ia sering kali mendapati Zahra yang tiba-tiba
menangis. Ia mencoba menghibur dengan segala hal yang disukai Zahra seperti
mengajaknya berkeliling, ia tak ingin melihat Zahra bersedih namun, ia juga tak
mau bertanya karena ia takut sahabatnya kembali mengingat kesedihan itu. Zahra
tetap tersenyum, bercanda, dan tertawa seperti biasa meski demikian ia masih
saja menangis ketika menatap langit dari balik jendela apartemen. Di bawah
langit kota Istanbul cinta yang pernah dibawa mati kembali menjumpai titik
awal.
“ Aliya, bagaimana kalau liburan nanti kita jalan-jalan ke Kairo.”
Ajakan Zahra ini selalu menjadi tanda tanya bagi Aliya. Apa pun ia lakukan demi
sahabatnya agar tetap tersenyum termasuk dengan menerima ajakan Zahra berlibur
ke Kairo. Musim demi musim berlalu, kehidupan Istanbul semakin melelahkan
dengan berbagai aktivitas perkuliahan, Zahra telah memasuki tahun keduanya di
Istanbul, lebaran tahun lalu hanya ia lalui bersama Aliya dan umat muslim Turki
lainnya tanpa keluarga dan sanak saudara. Lebaran tahun ini mereka berencana
pulang ke Indonesia. Rindu akan tanah air yang tak tertahankan lagi, terutama
bagi Zahra meski baru dua tahun menetap di Turki. Persiapan mereka lakukan jauh
sebelum hari keberangkatan, Zahra tampak antusias terlebih dalam mencari oleh-oleh.
Satu hal melintasi ruang fikirnya, sesaat sebelum pesawat yang akan
membawa ia dan Aliya terbang menuju Indonesia lepas landas dari Bandara
Internasional Attaturk. “ Apa kabar Syamil?” betapa ia merindukan lelaki yang
tak disangka akan bertahta di singgasana hatinya, perkenalan mereka terbilang
sangat singkat. Semenjak Syamil meninggalkan Istanbul Zahra tak lagi
berkomunikasi dengannya, bahkan ketika berlibur ke Kairo Zahra sengaja tidak
memberi tahu Syamil. Hanya tulisan-tulisan Syamil di media sosial yang selalu
ia baca, dari tulisan itulah ia mengetahui bahwa lelaki tersebut baik-baik
saja. Lelahnya perjalanan dari Istanbul ke Jakarta terbayar sempurna ketika kembali
merasakan hawa tropis yang ia rindukan selama di Istanbul. Zahra semakin tak sabar
untuk segera tiba dirumah, banyak hal yang ia bayangkan ketika nanti bertemu
orangtua dan saudara-saudaranya.
Semua bayangan itu menghilang bagaikan terseret ombak, ketika
mendapati sosok yang ia rindukan di setiap sujudnya kini duduk membelakangi
pintu rumah dan wanita yang dipanggilnya ibu tampak tersenyum ramah dihadapan
lelaki tersebut. Zahra terdiam di depan pintu ketika lelaki itu memalingkan
wajah ke arahnya, seperti sebuah mimpi. Lelaki bernama Syamil yang ia rindukan
bersama air mata di balik jendela Istanbul kini duduk di sofa ruang tamu rumah
orang tuanya. Zahra masih belum mengeluarkan sepatah kata pun, ia melirik Aliya
yang hanya tersenyum.
“ Aku
tau semuanya dan ternyata bukan hanya kamu yang diam dalam perasaanmu selama
ini, Syamil merasakan hal yang sama,” tutur Aliya, Zahra masih tak bersuara.
“ Ketika
kamu ketiduran, diam-diam aku membuka laptopmu, awalnya aku kaget karena aku
kira selama ini kamu masih menangisi masa lalumu, tapi disitu aku tau kamu
pembaca setia setiap tulisan Syamil di blog-nya, jujur saja, aku
menceritakannya pada Syamil via email malam itu juga dan semenjak itu aku tau
Syamil menyimpan perasaan yang sama, satu hal yang belum aku katakan, Syamil
adalan teman SMP-ku di Surabaya sebelum aku pindah ke Pekanbaru dan bersekolah
di pesantren yang sama denganmu.” Mendengar penjelasan Aliya, Zahra hanya
tersenyum, tak kuasa menahan air mata bahagia atas pelangi yang datang setelah
hujan. Ia tau mencintai seseorang akan sangat menyakitkan bila bertepuk sebelah
tangan tapi, ia tetap menjaga fitrah itu dalam diam hingga Allah menyampaikan
maksud hatinya pada orang yang dituju. Begitu juga dengan Syamil yang telah
menyimpan banyak pertanyaan tentang Zahra semenjak pertemuan pertama mereka di
Bandara Attaturk. Cinta tak butuh ungkapan karena cinta hanya perlu bukti, cinta
tak selamanya berakhir bahagia karena cinta tak seharusnya berakhir. Cintailah
seseorang atas dasar cinta karena Allah, karena Dia lah Sang Maha Cinta yang
padaNya berpulang segala harapan. Istanbul kota dua benua yang menjadi titik
bertemunya budaya barat dan timur juga menjadi tempat bertautnya dua hati yang
saling menjaga kesucian cinta. Kota yang menyimpan jutaan sejarah dan menjadi
saksi peralihan kekuasaan dunia juga menjadi saksi perjalanan cinta Zahra yang
bermula dan berakhir di Aya Sofya, gereja yang dialih fungsikan menjadi masjid
pada tahun 1453 setelah Sultan Mehmet II berhasil menaklukkan Konstantinopel
atau yang kita kenal sekarang bernama Istanbul, dan di bawah kekuasaan Mustafa
Kemal Attaturk masjid yang dulunya gereja ini dirubah menjadi museum.